Sabtu, 28 April 2012

Problem Seputar Kemungkinan Kerterbalikan Sanad; Kajian tentang Riwayat al-Akâbir ‘an al-Ashâghir

Muhammad Khoirul Huda[1]

Pendahuluan
Otentisitas merupakan salah satu persoalan pokok dalam ilmu hadis. Para pakar ilmu ini memberikan lima ukuran dasar untuk menilai keaslian suatu hadis: [1] ‘adalah [ketaat-asasan dalam beragama], [2] dhabth [kekuatan hafalan rawi], [3] ittishal al-sanad [ketersambungan mata rantai sanad], [4] adam al-syudzudz [tidak ada kejanggalan akibat berlawanan dengan riwayat lain], dan [5] ‘adam al-‘ilal [ketiadaan cacat].[2]

Soal Pribumisasi; Konteks, Cara dan Wilayah Kerja Edisi Ahmad Baso

Prolog
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan sosok yang kontroversial. Memahami pemikirannya yang merentang sekian lama tidaklah mudah. Ibarat sebuah teks, jalinan makna yang dikonstruksikannya begitu amburadul, acak, multi-tafsir, dan sulit. Karenanya, cukup menarik mengurai benang kusut ini melalui kajian reguler-tematis seperti yang digagas oleh kawan-kawan Pojok Pemikiran Gus Dur tempo hari. Gus Dur telah menyuguh-tawarkan tema-tema besar yang menantang untuk dikaji dan diuji. Apakah tawarannya cukup relevan untuk dipakai dan dikembangkan di masa yang akan datang seperti yang dipahami oleh Ahmad Baso?[1]  

Ayat-Ayat Multikulturalisme; Pesan al-Quran tentang “Perbedaan dalam Kedamaian”

 Pendahuluan
Bagaimanakah membangun suatu masyarakat yang ideal? Di atas dasar apa suatu masyarakat yang ideal itu dapat ditegakkan? Dua pertanyaan yang bernada filosofis ini telah memancing perdebatan yang memakan waktu cukup lama dalam sejarahnya. Plato [427-347 SM.], filsuf Yunani Kuno memandang model kehidupan negara-kota lah yang paling ideal. Negara ideal tidak boleh terlalu gemuk, cukup seluas kota agar mudah melakukan perencanaan, pengaturan, dan pendisiplinan.[1] Al-Farabi [w. 874 M.], sebagai wakil filsuf dari dunia Islam menawarkan konsep Madinah Fadhilah [Kota Utama] di mana seluruh kehidupannya didasarkan pada rasionalisasi [al-‘aql] yang menyatukan seluruh elemen masyarakatnya. Tanpa mempertimbangkan besaran wilayah suatu negara. al-Mawardi [w. 1058 M.], ahli hukum tata negara klasik menyatakan sebuah negara harus disatukan oleh suatu ideologi yang berwibawa dan diterima-patuhi oleh seluruh elemen yang hidup di dalamnya. Ideologi itu bernama agama [al-din al-mutha’].

Rabu, 18 Januari 2012

Ikhtilâf al-Hadîts Karya al-Syafi’i[1]


M. Khoirul Huda*

Abstrak

Kajian hadis-hadis bertentangan telah dimulai sejak sebelum masa al-Syafi’i. Namun, baru di tangan al-Syafi’i, kajian ini menemukan bentuk teoretisnya terutama melalui karya yang berjudul Ikhtilâf  al-Hadîts. Karya ini muncul sebagai bagian dari usaha al-Syafi’i dalam mengkonstruksi bangunan fikih, terutama aliran ahli hadis dengan memberikan penguatan pada basis teoretisnya untuk menghadapi serangan ahli ra’yu, inkar al-Sunnah, dan kelompok Kalam. Al-Syafi’i merasa berkepentingan meneguhkan eksistensi sunnah dengan segala variannya. Secara intern, al-Syafi’i harus menghadapi dan menyelesaikan problem hadis-hadis yang saling bertentangan yang merupakan celah yang dapat dimanfaatkan kaum yang menolak hadis sebagai bagian dari syariah. Di sinilah perlunya mengetahui perjalanan awal Mukhtalif al-Hadîts.

Kata Kunci:  Mukhtalif, Ikhtilaf, Hadis, al-Syafi’i

Hadis Sebagai Sumber Pencerahan

Muhammad Khoirul Huda*

Filsafat abad pencerahan melihat bahwa sejatinya dunia ini dipetakan ke dalam dua wilayah saja, mitos dan logos. Dunia mitos merupakan wilayah gelap di mana manusia tidak memiliki kesadaran atas dirinya dan alam sekitarnya. Manusia yang hanya sekadar mengikuti tanpa kesadaran kritis dianggap telah masih dikuasai oleh mitos-mitos. Di sini, apapun dapat menjadi mitos dalam takaran tertentu. Baik itu ilmu pengetahuan, ideologi, maupun doktrin agama. Yakni ketika semua itu digunakan tanpa didasari oleh suatu kesadaran rasional. Sebaliknya, wilayah logos [umumnya diartikan ‘ilmu’] menjadi wilyah yang terang karena manusia dapat secara sadar melihat dunianya. Eksplorasi dunia dengan segala bentuknya saat ini, yang mentahbiskan manusia sebagai penguasa tunggal, diyakini bersumber dan dimulai dari sejak manusia berhasil memasuki wilayah logos. Logos yang beranakkan ‘pencerahan’ menjadi kutub positif dalam melihat dunia. Sedangkan mitos, menjadi sisi gelap dan negatif, yang harus dijauhi. Mitos adalah kebodohan, kejahiliahan, ketidaktahuan yang menyebabkan manusia dikuasai oleh yang lain.

Allah Mendengar Gugatan Perempuan “Tafsir Naratif surat al-Mujadalah”

M. Khoirul Huda

Seorang perempuan paruh baya menemui Nabi. Ia mengadukan suaminya yang dengan emosional mengucapkan sumpah Zihar. Cara sumpah orang Arab yang tidak ingin bergaul dengan istrinya lagi, dengan menyamakan sang istri dengan ibunya. Sebuah kilah dengan legitimasi tradisi. 

Suaminya sudah bosan padanya. Ia sudah tua. Tidak secantik masa mudanya dulu. Sama sekali tidak menarik. Namun ia masih sebagai istri, walaupun tidak sepenuhnya. Karena suaminya enggan menggaulinya. Keengganan itu dikukuhkan dengan sumpah. Legalitas tertinggi bagi setiap tindakan yang tidak mungkin disalahi dan dilanggar oleh orang Arab yang memiliki harga diri yang begitu tinggi. Hubungan dirinya dan suaminya itu menjadi ikatan aneh. Tidak jelas. Istri bukan,  ibu juga bukan. 

MONYET PUN DIRAJAM; Studi Banding atas Ketegasan Pemerintah

Muhammad Khoirul Huda* 

Suatu ketika, Amr bin Maimun, seorang sahabat Nabi, berada di tengah gerombolan kambing gembalaan milik keluarganya di Yaman. Dia berada di sebuah tempat yang agak tinggi. Tiba-tiba seekor kera jantan datang bersama betinanya. Kemudian kera jantan itu tidur dengan menjadikan tangan kera betina sebagai bantalnya. Lalu datang seekor kera jantan lain yang berukuran tubuh sedikit lebih kecil (muda) dari kera jantan pertama. Kera kecil itu memancing perhatian kera betina. Kera betina itu melepaskan tangannya secara pelan-pelan, kemudian pergi mengikuti kera muda. Kera muda itu menyetubuhi sang kera betina. Setelah itu kera betina kembali, dan mengalaskan tangannya. Kera jantan bangun dan mencium adanya aroma asing di tubuh pasangannya. Ia berteriak. Teriakan itu menarik perhatian kera-kera lainnya. Kera-kera itu saling berteriak, menyebar ke kanan dan kiri. Mereka mencari si kera muda. Akhirnya mereka berhasil menangkap kera muda itu. Keduanya tertangkap basah berselingkuh. 

Hadis Talqin; Sebuah Telaah Tekstual-Redaksional

Muhammad Khoirul Huda*

Prolog
Sejarah panjang tradisi intelektual di lingkungan umat Islam telah menyuguhkan kekayaan pengetahuan tiada tara. Dan bila kita lihat sepintas lalu, awalnya adalah usaha-usaha memahami pesan-pesan Tuhan yang tertuang dalam sumber-sumber otoritatif muslim; Quran dan Sunah.

Tata bahasa, sastra, moral, hukum, teori hukum, teologi, filsafat, politik, sejarah, hingga sosial dan kealaman seringkali dikaitkan dengan Realitas Tertinggi sumber inspirasi spiritual Islam. Ini menjadi ciri khas pengetahuan arus utama di masa lalu; dan sepertinya demikian pula saat ini.