Muhammad Khoirul
Huda*
Filsafat abad pencerahan melihat
bahwa sejatinya dunia ini dipetakan ke dalam dua wilayah saja, mitos dan logos.
Dunia mitos merupakan wilayah gelap di mana manusia tidak memiliki kesadaran
atas dirinya dan alam sekitarnya. Manusia yang hanya sekadar mengikuti tanpa
kesadaran kritis dianggap telah masih dikuasai oleh mitos-mitos. Di sini, apapun
dapat menjadi mitos dalam takaran tertentu. Baik itu ilmu pengetahuan,
ideologi, maupun doktrin agama. Yakni ketika semua itu digunakan tanpa didasari
oleh suatu kesadaran rasional. Sebaliknya, wilayah logos [umumnya diartikan
‘ilmu’] menjadi wilyah yang terang karena manusia dapat secara sadar melihat
dunianya. Eksplorasi dunia dengan segala bentuknya saat ini, yang mentahbiskan
manusia sebagai penguasa tunggal, diyakini bersumber dan dimulai dari sejak
manusia berhasil memasuki wilayah logos. Logos yang beranakkan ‘pencerahan’ menjadi
kutub positif dalam melihat dunia. Sedangkan mitos, menjadi sisi gelap dan
negatif, yang harus dijauhi. Mitos adalah kebodohan, kejahiliahan,
ketidaktahuan yang menyebabkan manusia dikuasai oleh yang lain.
Dunia sudah dikuasai oleh logos-logos.
Dalam ilmu pengetahuan, keyakinan keagamaan, dan ideologi. Pengetahuan harus
rasional, lebih khusus lagi, harus positivistik. Beragama juga harus rasional.
Doktrin tentang setan-jin harus dirasionalkan dengan menafsirkannya sebagai
kuman. Bernegara juga harus rasional. Tahu fungsi, tujuan, dan cara-cara
pelaksanaannya. Me-logos-kan dunia berarti
menyingkirkan hal-hal yang tidak diketahui dengan menggunakan instrumen rasio.
Bukan kitab suci. Lebih-lebih kitab lain yang tidak suci. Logos-logos berusaha
menciptakan tata kehidupan untuk manusia. Suatu pedoman atau petunjuk untuk berkehidupan.
Fungsi ini pada dasarnya sama dengan
maksud kitab suci. Sama pula dengan tujuan mitos. Manusia mempercayai kitab
suci dan mitos-mitos sebagai pedoman kehidupan mereka. Manusia tidak berani
menentang logos, sebagaimana mereka tidak berani melawan kitab suci dan mitos
yang mereka yakini. Karena, dengan itu, niscaya mereka akan kehilangan petunjuk
hidup. Kehilangan petunjuk akan menjadi awal kehancuran suatu umat. Karenanya,
ideologi, ilmu pengetahuan, dan agama akan tetap hidup dalam benak masyarakat. Ketiganya
merupakan sumber pencerahan umat yang tetap konsisten hingga saat ini. Terlepas
dari benar-tidaknya sumber pencerahan itu.
Demikian pula kita, kaum
muslimin, mempercayai kebenaran Nabi Muhammad saw. berikut ajaran-ajarannya. Jalan
hidup yang telah beliau ajarkan merupakan petunjuk yang berharga yang telah
membimbing jutaan orang, dari generasi ke generasi kaum muslimin, selama lebih dari empat belas
abad, untuk menapaki kehidupan di dunia. Melalui al-Quran, Nabi mengajarkan
prinsip-prinsip kehidupan. Melalui perkataan, tindakan, dan sikapnya, beliau
menjelaskan prinsip-prinsip itu. Generasi awal kaum muslimin telah
mendokumentasikan detil-detil kehidupan beliau hanya untuk satu hal. Diikuti. Nabi
Muhammad saw. bukan sekadar pembawa petunjuk. Tapi petunjuk itu sendiri. Sama
seperti al-Quran, bukan kitab tempat
kumpulan petunjuk. Tapi al-Quran adalah petunjuk itu sendiri. Demikian
bahasa-bahasa hiperbolik yang sering dipakai al-Quran. Al-Quran dan Nabi
Muhammad merupakan dua entitas, namun memiliki jati diri yang sama. Aisyah ra.
menyimpulkan, bahwa perilaku Nabi merupakan representasi nilai-nilai al-Quran. Nabi
adalah al-Quran berjalan. Inilah mengapa perkataan beliau begitu banyak dicatat
dan dikutip. Perkataannya sangat berharga. Bagaimana tidak? Hingga saat ini,
perkataannya yang dicatat dalam kitab-kitab kumpulan hadis, yang jumlahnya
mencapai ribuan, masih diyakini dan diikuti. Masih dipercayai sebagai petunjuk
untuk menjalani kehidupan. Masih diyakini sebagai sumber pencerahan. Dan memang
benar sabda beliau, “Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar
ucapanku, menghafalkannya, dan menyampaikannya kepada orang lain.” [HR. Abu
Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Darimi,
al-Thabrani, Abu Nu’aim al-Ashfihani, al-Baihaqi, dan lainnya].
‘Mencerahkan’ dalam
redaksi aslinya dengan menggunakan kata naddhara [nun-dhadh-ra’].
Menurut Ibnu Manzhur [690-771 H.], pakar leksikograf abad delapan, naddhara diambil
dari kata nadhrah yang berarti nikmat, kelapangan dalam rizki, dan
kekayaan. Adapula makna baik dan indah. Secara khusus, pengertian naddhara dalam
hadis di atas adalah baiknya perilaku dan kemuliaan derajat [Ibnu
Manzhur, Lisan al-‘Arab, vol 5, hlm. 210]. Al-Mubarakfuri, pakar hadis
kenamaan India, memahami bahwa maksudnya adalah Allah mengistimewakannya dengan
kebahagiaan karena ilmu dan derajat yang mulia di hadapan manusia saat di
dunia, dan kenikmatan di akhirat. Inilah yang membuat wajahnya ceria, cerah,
dan bersinar. Keceriaan dan kecerahan wajah merupakan tanda kebahagiaan.
[al-Mubarakfuri, ‘Aun al-Ma’bud, vol 5, hlm. 347]. Sabda-sabda Nabi
telah menerangi jalan kaum muslimin. Sejak pertama kali komunitas ini didirikan
hingga ketika mereka berjumlah sekitar 2 miliar manusia saat ini. Sabda,
tindakan, dan sikap Nabi saw. menjadi pedoman mayoritas mereka. Dengan
demikian, menjadikan sabda-sabda Nabi saw. sebagai sumber pencerahan tidak
salah bukan?
*Penulis adalah Mahasantri
IIHS Darus-Sunnah semester III, karyawan pada Forum “Bengkel Hadis” Ciputat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar