Muhammad
Khoirul Huda[1]
Pendahuluan
Otentisitas
merupakan salah satu persoalan pokok dalam ilmu hadis. Para pakar ilmu ini
memberikan lima ukuran dasar untuk menilai keaslian suatu hadis: [1] ‘adalah
[ketaat-asasan dalam beragama], [2] dhabth [kekuatan hafalan rawi], [3] ittishal
al-sanad [ketersambungan mata rantai sanad], [4] adam al-syudzudz
[tidak ada kejanggalan akibat berlawanan dengan riwayat lain], dan [5] ‘adam
al-‘ilal [ketiadaan cacat].[2]
Masing-masing
ukuran dasar di atas memiliki mekanisme tersendiri dalam penggunaannya.
Semisal, untuk mengetahui sisi ‘adalah seorang rawi dapat merujuk kepada
komentar pakar jarh wa ta’dil, yang pada umumnya didasarkan pada kesaksian
tokoh yang semasa, tokoh yang lebih yunior, atau seorang pakar yang bergelut
dengan problem ketaat-asasan para rawi. Sedangkan untuk mengetahui kualitas
hafalan seorang rawi [dhabth al-râwi], selain menggunakan kesaksian,
dapat juga ditambahkan model perbandingan riwayat seperti i’tibar, muqâranah,
atau yang sejenisnya.
Syarat
keempat dan kelima, lebih banyak menitikberatkan pada penggunaan perbandingan
riwayat untuk menilai apakah terdapat syâdz dan ‘illat
dalam suatu riwayat. Sedangkan untuk menilai terpenuhi-tidaknya syarat ketiga
terkait ketersambungan sanad [ittishal al-sanad], dapat digunakan
metode perbandingan riwayat, data-data hubungan guru-murid para rawi yang
terdapat dalam buku-buku biografi rawi [tarâjum], dan analisa tahun
kelahiran-kematian rawi [târîkh mawâlid, al-wafayât].
Secara
umum, ketidaklengkapan lima ukuran dasar di atas berimplikasi pada kualitas
kesahihan, di samping pengkategorisasian pada jenis hadis lemah tertentu sesuai
unsur yang kurang dalam suatu hadis. Masing-masing kriteria di atas mempunyai
problematikanya sendiri-sendiri. Dalam makalah ini, permasalahan akan dibatasi
pada problem ittishal al-sanad terutama terkait dengan kemungkinan adanya
keterbalikan susunan sanad [musykilah haula imkaniyyah tawahhum fi inqilab
al-sanad]. Pemakalah akan mengangkat tiga tema tentang al-mutaqaddim wa
al-muta’akhhir, riwayat al-akâbir ‘an al-ashâghir dan riwâyat
al-âbâ’ ‘an al-abnâ’. Di mana ketiganya merupakan kajian yang secara khusus
membahas tentang model periwayatan yang ‘tidak wajar’ dan terkesan ‘mengalami
keterbalikan’. Pembahasan dilanjutkan dengan metode pengungkapan dan pembuktian
ketiadaan keterbalikan sanad.
Keterbalikan:
Suatu Masalah [?]
Keterbalikan
sanad memang menjadi masalah dalam sebagian kasus. Seperti sedikit disinggung
di atas, keterbalikan dapat berakibat pada penurunan kualitas sanad. Keterbalikan
yang dalam istilah ilmu hadis disebut al-qalb[3]
dan hadisnya disebut al-maqlub mempunyai dua pola; disengaja dan tidak
disengaja. Pertama, jika suatu sanad mengalami keterbalikan [tanpa
sengaja] yang berasal dari seorang rawi di bawah rawi-rawi yang mengalami
keterbalikan, maka hal tersebut menunjukkan kelemahan hafalan sang rawi [1]. Konsekuensinya,
hadis menjadi lemah akibat kelemahan hafalan rawi.
Kedua, bila
terjadi pembalikan sanad secara sengaja, maka dilakukan dua pemilahan, melihat
motif pembalikan. Jika pembalikan dilakukan dengan tujuan untuk menguji
hafalan, dan sanad dikembalikan seperti semula sesuai aslinya setelah ujian
selesai, maka yang demikian tidak menjadi soal seperti yang dilakukan pada
al-Humaidi dan al-Bukhari [2]. Berbeda jika pembalikan yang disengaja bertujuan
memperoleh popularitas tertentu atau tujuan lain yang tidak dibenarkan, maka
hadis dapat menjadi maqlub yang tergolong hadis lemah, bahkan maudhu’
atau palsu [3]. Di sinilah problem terkait dengan keterbalikan dalam sanad
berada. Di mana keterbalikan dapat berimplikasi pada kesahahihan hadis.
Namun,
di sini tidak akan dibicarakan tentang keterbalikan atau pembalikan sanad. Pembicaraan
diarahkan pada sanad yang dikesankan mengalami keterbalikan, yang sejatinya
tidak ada keterbalikan sama sekali. Seperti dalam konteks periwayatan rawi
senior dari rawi junior. Model riwayatan semacam ini menimbulkan kesan telah
terjadi keterbalikan sanad karena melihat keumuman periwayatan hadis, di mana
kebanyakan seorang junior mendapatkan hadis dari seniornya. Bukanlah sesuatu
yang lumrah, wajar, jika seorang jauh lebih tua dari segi umur mendapatkan
hadis dari orang yang sangat muda. Tidak lumrah pula jika seorang yang terkenal
kealimannya, ternyata mempunyai guru yang tidak sealim muridnya. Sebagaimana
tidak lazim seorang bapak mendapatkan hadis dari anaknya. Dualisme semacam
inilah yang memunculkan kesan adanya keterbalikan. Dualisme antara yang senior
dan junior. Di sinilah senioritas menjadi problem.
Senioritas:
[Bukan] Problem ittishal al-sanad
Salah
satu persoalan yang dihadapi untuk mengetahui ketersambungan sanad adalah senioritas.
Dalam beberapa kasus, yang memunculkan anggapan keterbalikan. Senioritas dapat
berarti ketinggian dalam umur, kapasitas intelektual, keberislaman, atau
kualitas-kualitas tertentu lainnya. Senioritas mengandaikan keunggulan di atas
‘yang junior’. Sekalipun dikotomi senior-junior merupakan gejala umum yang lazim
dikenal dalam hubungan sosial, keilmuan, politik dan lain sebagainya, namun
dalam beberapa hal dikotomi ini menjadi masalah. Karena adanya anggapan yang
berat sebelah. Bahkan, cenderung diskriminatif. Dan terkadang berujung pada
pensikapan yang tidak benar.
Dalam
tradisi ulama hadis, dikenal pula problem senioritas ini. Di mana sebagian
orang telah mencapai taraf akademik tertentu, popularitas yang tinggi di mata
masyarakat, dan di sisi lain dia mempunyai guru yang lebih rendah kapasitas
keilmuan, usia atau lainnya, maka sang guru tidak mendapatkan haknya untuk
menerima ‘penghormatan’, penilaian yang layak, dan pengakuan yang semestinya. Lebih
memprihatinkan lagi, posisinya sebagai guru dicurigai, dan dinilai telah
terjadi keterbalikan dalam rangkaian mata rantai keilmuan. Padahal,
keterbalikan dalam menyusun rangkaian sanad [inqilâb] atau pembalikan [qalb]
dapat berakibat fatal pada kualitas hadis.[4]
Sejatinya,
‘keterbalikan’ periwayatan dapat ditemui sejak masa Nabi. Seperti diriwayatkan
secara lengkap oleh al-Imam Ahmad, dan al-Imam Muslim dalam bentuk potongan,
Nabi mendapatkan riwayat dari Tamim al-Dari. Umumnya, hadis berasal dari Nabi,
kemudian sahabat, dilanjutkan tabi’in dan seterusnya. Namun dalam riwayat ini,
dijelaskan bahwa Nabi mendapatkan riwayat dari Tamim al-Dari. Di bawah ini,
penulis kutip riwayat al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya secara lengkap.
27390 - حدثنا
عبد الله حدثني أبي ثنا يونس بن محمد قال ثنا حماد يعنى بن سلمة عن داود بن أبي هند
عن الشعبي عن فاطمة بنت قيس : ان رسول الله صلى الله عليه و سلم جاء ذات يوم مسرعا
فصعد المنبر ونودي في الناس الصلاة جامعة فاجتمع الناس فقال يا أيها الناس اني لم أدعكم
لرغبة ولا لرهبة ولكن تميم الداري أخبرني ان نفرا من أهل فلسطين ركبوا البحر
فقذف بهم الريح إلى جزيرة من جزائر البحر فإذا هم بدابة أشعر لا يدري ذكر هو أو أنثى
لكثرة شعره فقالوا من أنت فقالت أنا الجساسة فقالوا فأخبرينا فقالت ما أنا بمخبرتكم
ولا مستخبرتكم ولكن في هذا الدير رجل فقير إلى ان يخبركم والى ان يستخبركم فدخلوا الدير
فإذا هو رجل أعور مصفد في الحديد فقال من أنتم قالوا نحن العرب فقال هل بعث فيكم النبي
قالوا نعم قال فهل اتبعه العرب قالوا نعم قال ذاك خير لهم قال فما فعلت فارس هل ظهر
عليها قالوا لا قال أما انه سيظهر عليها ثم قال ما فعلت عين زغر قالوا هي تدفق ملأى
قال فما فعل نخل بيسان هل أطعم قالوا نعم أوائله قال فوثب وثبة حتى ظننا انه سيفلت
فقلنا من أنت فقال أنا الدجال أما اني سأطأ الأرض كلها غير مكة وطيبة فقال رسول الله
صلى الله عليه و سلم أبشروا معاشر المسلمين هذه طيبة لا يدخلها
Abdullah
menceritakan kepadaku, ayahku menceritakan kepadaku, Yunus bin Muhammad
menceritakan kepada kami, Hammad [putra Salamah] menceritakan kepada kami, dari
Dawud bin Abi Hind, dari al-Sya’bi, dari Fathimah binti Qais bahwa pada suatu
hari Rasulullah saw. datang dengan tergesa-gesa. Lalu beliau naik mimbar dan
dikumandangkan di tengah orang-orang “al-shalat jami’ah” [mari tunaikan shalat
secara berjamaah]. Orang-orang berkumpul, dan Rasulullah berkata, “Wahai umat
manusia. Aku tidak mengundang kalian karena cinta dan takut. Tapi karena Tamim
al-Dari telah memberi kabar kepadaku bahwa sekelompok penduduk Palestina
berlayar di lautan. Kemudian angin membawa mereka kepada sebuah pulau di tengah
samudera. Mereka bertemu seekor hewan melata berbulu lebat. Tidak diketahui ia
jantan atau betina karena kelebatan bulunya. Mereka bertanya, “Siapa kamu?” Dia
menjawab, “Aku al-Jassasah” Mereka bertanya, “Berilah kami informasi.” Ia
berkata, “Aku tidak akan memberi informasi kepada kalian tidak pula akan bertanya
kepada kalian. Tapi di biara ini ada seorang laki-laki butuh memberi informasi
kepada kalian dan butuh informasi dari kalian.” Mereka memasuki biara tersebut.
Dia ternyata seorang laki-laki buta yang diikat dalam rantai besi. Dia
bertanya, “Siapa kalian?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang Arab.” Dia
bertanya, “Apakah telah diutus seorang Nabi di antara kalian?” Mereka menjawab,
“Benar.” Dia bertanya, “Apakah orang-orang Arab mengikutinya?” Mereka menjawab,
“Benar.” Dia berkata, “Itu lebih baik bagi mereka.” Dia berkata lagi, “Apa yang
dilakukan orang-orang Persia? Apakah mereka mengalahkan orang Arab?” Mereka
menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Sesungguhnya Nabi itu akan mengalahkan orang
Persia.” Kemudian dia berkata lagi, “Apa yang terjadi pada sumber mata air
Zughar?” Mereka menjawab, “Memancar penuh.” Dia bertanya, “Apa yang terjadi
dengan kebun kurma desa Baisan? Apakah ia dapat menyediakan sumber pangan?”
mereka menjawab, “Benar. Sejak awalnya.” Tamim al-Dari berkata, “Kemudian
lelaki itu melompat dengan sekali lompat hingga kami mengira bahwa ia akan
lepas dari rantai besi itu. Kami bertanya, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku
Dajjal. Aku akan menginjak seluruh bumi kecuali Mekah dan Thaibah.” Kemudian
Rasulullah saw. bersabda, “Berbahagialah kalian wahai kaum muslimin. [Madinah ]
inilah Thaibah itu. Dajjal tidak akan memasukinya.”[5]
Tamim
al-Dari bernama lengkap Abu Ruqayyah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin
Judzaimah al-Lakhmi al-Filisthini. Dia datang bersama rombongannya kepada Nabi
pada tahun kesembilan hijriah, lalu masuk Islam. Nabi mendapatkan cerita
tentang al-Jassasah, cerita tentang Dajjal. Tamim terkenal sebagai ahli ibadah
dan banyak membaca kitab suci dan meninggal pada tahun 40 H. Selama bergaul
dengan Nabi, Tamim berhasil mengoleksi delapan buah hadis. Dan seperti
disinggung sebelumnya, Nabi menerima berita yang dibawa Tamim tentang Dajjal.[6]
Menurut
al-Suyuthi hadis di atas merupakan bukti bagi keabsahan model periwayatan
senior-junior. Di mana Nabi menerima berita dari seorang sahabat bernama Tamim
al-Dari. Praktik Nabi di atas menunjukkan kebolehan menerima periwayatan senior
dari junior.[7]
Praktik semacam ini terus berlangsung pada masa setelahnya. Seorang sahabat
besar mendapatkan hadis dari sahabat kecil, sahabat mendapatkan riwayat dari
tabiin, seorang tabiin meriwayatkan dari tabiit tabiin dan seterusnya.
Di
bawah ini disebutkan hadis riwayat al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman. Di
dalamnya terdapat riwayat seorang sahabat Ibnu Umar, dari seorang tabiin, Ka’b
bin al-Ahbar.
6269 - أَخْبَرَنَا
أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ نَافِعٍ،
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ كَعْبٍ، قَالَ: ذَكَرَتِ الْمَلَائِكَةُ أَعْمَالَ
بَنِي آدَمَ وَمَا يَلْقَوْنَ مِنَ الذُّنُوبِ، فَقَالَ لَهُمْ: " اخْتَارُوا
مِنْكُمْ مَلَكَيْنِ "، فَاخْتَارُوا هَارُوتَ وَمَارُوتَ، فَقَالَ لَهُمَا:
" إِنِّي أُرْسِلُ رُسُلِي إِلَى النَّاسِ، وَلَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ رَسُولٌ
انْزِلَا، وَلَا تُشْرِكَا بِي شَيْئًا، وَلَا تَزْنِيَا، وَلَا تَسْرِقَا " قَالَ
ابْنُ عُمَرَ، قَالَ كَعْبٌ: فَمَا اسْتَكْمَلَا يَوْمَهُمَا الَّذِي نَزَلَا فِيهِ
حَتَّى عَمِلَا مَا حَرَّمَ عَلَيْهِمَا . قَالَ الشَّيْخُ أَحْمَدُ: هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ
مِنْ قَوْلِ كَعْبٍ، وَقَدْ رَوَيْنَاهُ فِي بَابِ الْإِيمَانِ بِالْمَلَائِكَةِ مِنْ
حَدِيثِ زُهَيْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُوسَى بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَمَّ
مِنْ ذَلِكَ "
“Menceritakan
kepada kami Abu Abdillah al-Hafizh dan Muhammad bin Musa bin Uqbah, dari Nafi’,
dari Ibnu Umar, dari Ka’b yang berkata, “Para malaikat memperbincangkan
perilaku umat manusia dan dosa-dosa yang mereka lakukan. Kemudian Allah berkata
kepada mereka, “Pilihlah dua malaikat dari kalian.” Mereka memilih Harut dan
Marut. Allah berkata kepada mereka berdua, “Aku utus utusan-utusanku kepada
umat manusia. Tiada utusan antara aku dan kalian yang diturunkan. Jangan kalian
menyekutukan-Ku, jangan kalian berzina, jangan kalian mencuri.” Ibnu Umar
berkata, “Ka’b berkata, ‘Mereka tidak menyempurnakan hari di mana mereka
diturunkan hingga mereka melakukan apa yang diharamkan bagi mereka.” Syaikh
Ahmad berkata, “Inilah riwayat yang sahih dari Ka’b. Kami telah meriwayatkannya
dalam bab al-Iman bi al-Malaikat dari hadis Zuhair bin Muhammad dari Musa bin
Jubair dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah saw. dengan riwayat yang
lebih sempurna.”[8]
Contoh
lain dapat kita lihat dalam hadis yang terdapat dalam al-Muwattha’ di
bawah ini.
397 - وحدثني
عن مالك عن عبد الله بن دينار قال :رأيت عبد الله بن عمر يقف على قبر
النبي صلى الله عليه و سلم فيصلي على النبي صلى الله عليه و سلم وعلى أبي بكر وعمر
“Dan
menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abdullah bin Dinar yang berkata, “Aku
melihat Abdullah bin Umar berhenti di depan makam Nabi saw. lalu beliau
bershalawat kepada Nabi, kepada Abu Bakr, dan Umar.”[9]
Malik
dalam sanad hadis di atas adalah al-Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki.
Dikenal luas sebagai pemimpin spiritual-intelektual Madinah [imam dar
al-hijrah]. Menurut Ibnu al-Atsir dia dilahirkan pada 95 H. dan meninggal
pada 179 H. dalam usia 84 tahun. Sedangkan Abdullah bin Dinar adalah seorang
ahli hadis yang selain menjadi murid, juga menjadi guru al-Imam Malik. Al-Tahdzib
menuturkan dia meninggal pada tahun 127 H. Dengan demikian, secara umur,
Abdullah bin Dinar lebih tua daripada al-Imam Malik. Namun kapasisitas
keilmuannya jauh di bawah al-Imam Malik. Menurut al-Nawawi, al-Imam Malik
mempunyai dua kualitas sekaligus. Selain sebagai penghafal hadis [al-hâfizh],
juga mempunyai pemahaman yang mendalam dan keilmuan yang tidak diragukan [al-‘âlim].[10]
Berbeda dengan Abdullah bin Dinar yang memiliki tergolong riwayat banyak hadis
[katsîr al-hadîts], sebagaimana informasi Ibnu Sa’d, namun tidak mempunyai
keahlian dalam pemaknaan hadis.[11] Riwayat
ini tergolong sebagai model riwayat senior dari yunior secara keilmuan [riwayat
al-akâbir ‘an al-ashâghir], melihat tingkat dan kapasitas keilmuan kedua
tokoh tersebut.
al-Imam
Abu Dawud dalam Sunan-nya mencantumkan satu hadis dengan sanad Hamid bin
Yahya-Sufyan-Wa`il bin Dawud-Bakr bin Wa`il-Zuhri-Anas bin Malik-Nabi. Secara
lengkap riwayat tersebut penulis cantumkan sebagaimana berikut.
3746 - حَدَّثَنَا
حَامِدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا وَائِلُ بْنُ دَاوُدَ
عَنِ ابْنِهِ بَكْرِ بْنِ وَائِلٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِسَوِيقٍ وَتَمْرٍ.
“Menceritakan
kepada kami Hamid bin Yahya, menceritakan kepada kami Sufyan, menceritakan
kepada kami Wa`il bin Dawud, dari anaknya Bakr bin Wa`il, dari Zuhri, dari Anas
bin Malik bahwa Nabi saw. merayakan pernikahan Shafiyah dengan bubur Sawiq dan
kurma.”[12]
Bila
dicermati dalam sanad hadis ini terdapat tokoh yang bernama Wa`il bin Dawud
yang mengambil hadis dari anaknya Bakr bin Wa`il. Al-Mizzi menginfromasikan
bahwa nama lengkapnya adalah Abu Bakr Wa`il bin Dawud al-Taimi al-Kufi. Dia
meriwayatkan sebagian hadis dari anaknya, Bakr bin Wa`il tentang perayaan
perkawinan. Bakr meninggal terlebih dahulu daripada ayahnya. Al-Mizzi mencatat
bahwa Wa`il tidak pernah berguru kepada al-Zuhri. Hanya anaknya yang pernah
mendapatkan hadis darinya.[13]
Pola
Periwayatan Senior-Junior: Riwayat al-Akâbir ‘an al-Ashâghir dan Riwâyat
al-Âbâ’ ‘an al-Abnâ’
Beberapa
contoh di atas menunjukkan sebagian pola periwayatan yang ‘tidak wajar’. Di
mana seorang rawi senior mengambil hadis dari rawi yang lebih junior. Riwayat
Nabi saw. dari Tamim al-Dari merupakan contoh bagi model riwayat al-akâbir
‘an al-ashâghir. Begitu pula periwayatan Ibnu Umar dari Ka’b al-Ahbar dan
Malik bin Anas dari Abdullah bin Dinar. Sedangkan riwayat Wa`il bin Dawud dari
Bakr bin Wa`il merupakan pola periwayatan bapak dari anak atau dalam ilmu hadis
sering disebut dengan riwâyat al-âbâ’ ‘an al-abnâ’.
Mahmud
al-Thahhan mendefinisikan riwayat al-akâbir ‘an al-ashâghir dengan periwayatan
seseorang dari orang sebawahnya dalam usia, tingkatan generasi, keilmuan dan
hafalan. Al-Thahhan membagi riwayat al-akâbir ‘an al-ashâghir ke dalam tiga pola: [1] rawi lebih tua dari
pada gurunya dalam segi umur dan tingkatan generasi, [dan lebih tinggi
tingkatan keilmuan dan hafalannya], [2] rawi lebih tinggi tingkatan keilmuannya
daripada sang guru, tidak dalam usia, [3] rawi lebih tinggi daripada gurunya
dari segi usia dan tingkat keilmuannya.[14]
Pola
riwâyat
al-âbâ’ ‘an al-abnâ’ diartikan al-Thahhan dengan ditemukannya
periwayatan seorang ayah dari anaknya dalam suatu sanad hadis. Sebagai
contoh adalah riwayat Wa`il bin Dawud dari Bakr bin Wa`il yang mendapatkan
hadis dari al-Zuhri.
Metode
Pembuktian Ketiadaan Problem Keterbalikan
Seperti
disinggung sebelumnya, pola periwayatan senior-junior seringkali memunculkan
anggapan bahwa telah terjadi keterbalikan susunan periwayat. Karena, lazimnya
periwayatan menggunakan pola junior mengambil hadis dari senior. Anak mengambil
riwayat dari bapaknya, tabiin meriwayatkan dari sahabat, tabiit tabiin
meriwayatkan dari tabiin, rawi yang muda mengambil dari yang tua, yang terkenal
alim mendapatkan dari yang hanya sekadar penghafal. Untuk memastikan bahwa tidak
ada keterbalikan sanad, dapat dilakukan dengan menempuh beberapa langkah
berikut.
Biografi
Dalam
konteks ini, mengetahui biografi seorang rawi menjadi sangat penting untuk
mendapatkan data tentang nama lengkap, tahun kelahiran dan kewafatan, daftar guru
dan murid, serta pendapat ulama tentang sang rawi.
Semisal
dalam kasus Ibnu Umar-Ka’b al-Ahbar. Jika tidak dipastikan, akan muncul
anggapan bahwa Ka’b al-Ahbar adalah seorang sahabat. Karena Ibnu Umar yang
dikenal luas sebagai seorang sahabat tentunya mendapatkan hadis dari sahabat
lain yang lebih senior, seusia, atau sebawahnya. Namun jarang diasumsikan bahwa
seorang sahabat mendapatkan hadis dari tabiin. Kesalahan dalam menentukan
status kesahabatan dapat berakibat fatal, karena dapat membuat rawi yang
harusnya dapat diteliti menjadi bebas kritik. Untuk menghindari kesalahan ini, diperlukan
biografi kedua rawi di atas. Disebutkan bahwa Ibnu Umar bernama lengkap Abu
Abdurrahman Abdullah bin Umar bin al-Khatthab, masuk Islam saat masih kecil dan
ikut ayahnya hijrah ke Madinah. Pertama kali ikut perang ditolak karena
dianggap masih terlalu kecil [tiga belas tahun]. Ketika terjadi penakhlukan
kota Mekah, ia berumur dua puluh tahun. Meninggal di Mekah pada tahun 73 H.
dengan usia 87 tahun.[15]
Sedangkan
Ka’b al-Ahbar sepertinya merupakan pribadi yang kontroversial seputar status
kesahabatannya. Ibnu Hajar al-Asqalani memuat biografinya dalam al-Ishabah
fi Ma’rifat al-Shahabah. Sebuah buku ensiklopedi sahabat terbesar yang
pernah dikarang. Dalam buku tersebut diterangkan bahwa ia bernama lengkap Abu
Ishaq Ka’b bin Mati’ al-Himyari al-Yamani. Ia pernah bertemu Nabi saw. dan baru
masuk Islam pada masa pemerintahan Umar. Menurut sebuah informasi, ia masuk
Islam sejak masa Nabi. Namun pendapat yang paling kuat adalah yang menyatakan
bahwa ia masuk pada era Umar. Hal ini didukung riwayat dari al-Abbas bahwa
alasannya masuk Islam adalah karena ia baru menemukan kitab suci milik ayahnya
yang di dalamnya terdapat informasi tentang Muhammad dan sifat umatnya. Peristiwa
itu terjadi pada 12 H. di era kepemimpinan Umar. Ka’b meninggal pada akhir masa
pemerintahan Utsman di daerah Himsh dalam sebuah misi perang, tepatnya pada
tahun 32 H. dengan usia 104 tahun.[16]
Ka’b
lebih tua daripada Ibnu Umar dalam segi umur di satu, dan lebih yunior dalam
keislaman di sisi lain. Ibnu Umar merupakan generasi sahabat dan Ka’b dari
generasi tabiin. Karena, Ka’b mengalami keterlambatan masuk Islam. Dengan
demikian, terjadi pola periwayatan sahabat dari tabiin. Atau dalam kerangka
yang lebih luas, riwayat al-akabir ‘an al-ashaghir.
Nama
Rawi
|
Tingkatan
|
Lahir
|
Meninggal
|
Guru-Murid
|
Komentar
ulama
|
Ibnu
Umar
|
Sahabat
|
-
|
73
H.
|
al-Dzahabi
tidak menyebut secara jelas nama Ka’b al-Ahbar sebagai guru dari Ibnu Umar.
Al-Dzahabi hanya menyebutkan wa ghairihim [dan lainnya].
|
Shahabi
|
Ka’b
al-Ahbar
|
Tabiin
|
-
|
32
H.
|
Al-Dzahabi
tidak menyebutkan nama Ibnu Umar secara
tegas sebagai murid yang menerima hadis dari Ka’b. Hanya digunakan ungkapan
yang simplistis wa ghairihim.
|
Tsiqah
|
Simpulan
Uraian
di atas menunjukkan kepada kita tentang pola periwayatan yang unik. Di mana
seorang sahabat yang biasanya berada pada level pertama setelah Nabi, dalam
riwayat di atas ternyata berada pada level kedua. Dalam rangkaian isnad semacam
ini, seorang yang berstatus tabiin rawan dianggap sebagai sahabat. Anggapan
semacam ini dapat ditepis dengan melakukan penelitian pada biografi rawi. Di
antaranya untuk menetapkan thabaqat, guru, murid, dan sejarah hidupnya.
Data-data semacam ini menjadi penting untuk menghindari salah paham. Baik
kesalahpahaman terhadap keterbalikan sanad atau pada penempatan rawi tidak pada
level-thabaqatnya. Demikian uraian yang dapat penulis suguhkan, kritik dan
saran untuk melengkapi makalah ini sangat kami tunggu.
[1] Penulis adalah
Mahasantri Darus-Sunnah, International Institute for Hadits Sciences Indonesia,
di samping nyambi kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin.
[2] Muhyiddin Abu
Zakariya Yahya al-Nawawi. Taqrib al-Nawawi dalam Tadrib al-Rawi fi
Syarhi Taqrib al-Nawawi. (Kairo: Dar al-Hadits. 2004). hlm. 45
[3] al-Thahhan
mendefiniskan qalb dengan mengganti satu redaksi dengan redaksi lain
dalam sanad atau matan hadis, dengan cara mendahulukan, mengakhirkan atau
lainnya. Menurut latar belakangnya, qalb dapat terjadi karena
kesengajaan atau kelalaian. Jika disengaja, adakalanya karena tujuan
popularitas [ighrab] atau pengujian [imtihan]. Untuk yang pertama
tidak diperbolehkan, bahkan dapat membuat
hadis menjadi maudhu’. Jika
tidak disengaja, artinya karena kelalaian seorang rawi, jika kelalaian itu sering
terjadi, maka dapat saja hadis menjadi lemah karena kelemahan rawi. Lihat Mahmud
al-Thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadits. (Surabaya: Syirkah Bungkul
Indah). hlm. 107
[4] Jika terdapat
keterbalikan susunan sanad, lebih-lebih pembalikan, suatu hadis dapat
dimasukkan ke dalam kategori maqlub, bahkan dalam tataran tertentu dapat
dikategorikan maudhu’ karena adanya penyandaran yang tidak benar.
[5] Abu Abdillah Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal. Musnad Ahmad. (Maktabah Syamilah). Jilid 6.
Hlm. 418
[6] Syamsuddin Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Dzahabi. Siyar A’lam al-Nubala’.
(Kairo: Dar al-Hadits). juz 2. hlm. 442
[7] Abu Abdurrahman
al-Suyuthi. Tadrib al-Rawi fi Syarhi Taqrib al-Nawawi. (Kairo: Dar
al-Hadits. 2004). Hlm. 507
[8] Ahmad bin al-Husain
bin Ali al-Baihaqi. Syu’ab al-Iman. (Maktabah Syamilah). jilid 9. hlm.
65
[9] Malik bin Anas bin
Malik al-Ashbahi al-Madani. al-Muwattha’. (Maktabah Syamilah). jilid 1.
Hlm. 166
[10] al-Nawawi. Taqrib al-Nawawi dalam Tadrib
al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. hlm. 507
[11] Yusuf bin al-Zakiy
Abdurrahman Abu al-Hajjaj al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal. (Maktabah
Syamilah). hlm. 473, juz 14
[12] Abu Dawud
al-Sijistani. Sunan Abi Dawud. (Maktabah Syamilah). jilid 3, hlm. 396
[13] Al-Mizzi. Tahdzib
al-Kamal. (Maktabah Syamilah). jilid 30 hlm. 420
[14] Mahmud al-Thahhan. Taisir.
hlm. 190
[15] Al-Dzahabi, Siyar
a’lâm al-Nubalâ’, (Kairo: Dar al-Hadits), juz 4, hlm. 563
[16] Al-Ishabah
dan Siyar A’lam al-Nubala’ pada entri nama yang disebut di atas.
wah jadi tahu lebih dalam mengenai sanad nih... syukron...
BalasHapus