Prolog
Abdurrahman Wahid atau yang lebih
dikenal dengan Gus Dur merupakan sosok yang kontroversial. Memahami
pemikirannya yang merentang sekian lama tidaklah mudah. Ibarat sebuah teks, jalinan
makna yang dikonstruksikannya begitu amburadul, acak, multi-tafsir, dan sulit.
Karenanya, cukup menarik mengurai benang kusut ini melalui kajian
reguler-tematis seperti yang digagas oleh kawan-kawan Pojok Pemikiran Gus Dur
tempo hari. Gus Dur telah menyuguh-tawarkan tema-tema besar yang menantang
untuk dikaji dan diuji. Apakah tawarannya cukup relevan untuk dipakai dan
dikembangkan di masa yang akan datang seperti yang dipahami oleh Ahmad Baso?[1]
Karenanya, di sini tidak akan dibicarakan
tentang relevansi pribumisasi ke depan. Karena, seperti yang sering
dikatakan Gus Dur sendiri, sejarah yang akan membuktikan. Pada diskusi kali ini
kita akan memfokuskan diri pada salah satu tema besar yang digulirkannya, yakni
tentang pribumisasi Islam. Isu yang cukup kontroversial karena dipahami secara
berbeda sekaligus salah. Suatu pemahaman yang tidak dikehendaki oleh
pengujarnya.
Untuk sementara, penulis akan
menempatkan pribumisasi Islam sebagai satu ide di satu sisi, dan sebagai
epistemologi yang berkelindan dengan tantangan ideologis zamannya di sisi yang lain.
Penempatan sebagai ide menjadi penting karena pribumisasi merupakan
produk pemikiran yang ditawarkan untuk memecahkan suatu problem sosial
tertentu. Kemudian bagaimana ide itu dikonstruksikan oleh pencetusnya, yang
tentu saja dalam hal ini melibatkan aspek sosio-politik, sosio-kultural, dan
sosio-akademik sekaligus. Di samping kepentingan serta visi ideologis [madhmun
aidiyuluji] yang diembannya. Dari sinilah nanti kiranya akan ditemukan
dimensi epistemologis-ideologi dari pribumisasi.
Konteks Pribumisasi
Terma Pribumisasi
merupakan pilihan kata [diksi] yang menarik. Yang tentu saja menggambarkan
struktur serta cara bernalar penggunanya. Pribumi merujuk pada
pengertian keaslian serta hubungannya dengan suatu tempat tertentu, suatu tanah,
berikut segala yang hidup di atasnya yang meliputi kebudayaan, kehidupan
politik, gerak ekonomi, dan lainnya. Kesadaran ini berakhir pada klaim
kepemilikan dan penguasaan. Tepatnya, kepemilikan dan penguasaan atas tanah.
Hidup manusia seringkali dipenuhi dengan yang semacam itu. Segala cara
dilakukan untuk memperebutkan dan mempertahankannya. Hanya orang-orang yang
mengalami distorsi nalar, atau determenisme kehidupan yang tidak menyadari
ancaman atas tanahnya. Kesadaran ini, dalam konteks politik modern
diterjemahkan dengan terma nasionalisme. Semangat untuk mempertahankan
kedaulatan [tanah] sendiri dari ancaman “yang asing”. Sehingga pemilihan kata
ini meniscayakan lawannya yang tidak disebut secara langsung, yakni “yang
asing”, “tidak asli” atau “yang pendatang”.
Meminjam pemetaan Edward Said-Foucalt,
yang membagi relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme menjadi
kekuasaan politis, kekuasaan intelektual, kekuasaan kultural, serta kekuasaan
moral, yang menjadi kecenderungan dominan manusia kulon untuk menguasai wetan
menjadi semakin jelas bahwa tanah bukan saja berbentuk materi halus tempat
manusia berpijak. Mempertahankan tanah bukan hanya mempertahankan penguasaan
secara politik atas tanah, tapi juga menjaga dari eksploitasi intelektual yang
hidup di atas suatu tanah untuk kepentingan liyan yang mengancamnya, menjaga
dari terjadinya peleburan kebudayaan yang [menjadi identitas sekaligus tata] hidup
di atasnya, juga tidak mengabaikan kedaulatan moral yang dibentuk oleh suatu
tanah. Pada konteks semacam inilah pribumisasi ingin dipijakkan. Bahwa penerimaan
segala yang asing selayaknya tidak menjadikan kita tercerabut dari akar budaya
tempat kita hidup. Apapun bentuk yang asing itu, termasuk dalam cara “berislam”
atau cara “bernegara”. Secara umum, pribumisasi hadir dalam konteks pergulatan
negara, agama, dan kebudayaan. Dengan titik tolak kebudayaan yang
diperhadapkan dengan kekuatan-kekuatan [yang punya potensi] hegemonik, seperti negara
dan agama, pribumisasi berusaha menjinakkan nafsu hegemoniknya. Di
tengah dominasi yang “negara”, yang “pusat”, yang “modern”, yang “arus besar”, pribumisasi
Islam bermaksud mengadvokasi, memberikan kesempatan bersuara kepada yang
“masyarakat”, yang “daerah-lokal”, yang “tradisional”, dan yang “arus kecil”.
Negara Orde Baru dengan proyek pembangunan
[modernisasi] di segala bidang, yang mencoba mendorong praktek-praktek kebudayaan
rakyat agar mengikuti arus proyek ini di satu sisi, serta konservasi dan
kecurigaan penuh rakyat yang memiliki tradisi sendiri, menjadikan benturan
tidak terelakkan. Khususnya kalangan pesantren, yang bagi Gus Dur merupakan
tempat hidupnya yang memiliki basis-basis nilanya sendiri yang unik [yang
disebutnya sebagai subkultur], akan sangat sulit ditembus jika tidak dimengerti
secara mendalam. Pesantren yang merupakan gambaran Islam yang telah membumi
sekaligus mempribumi saja, sangat sulit mengikuti alur pemikiran negara,
lebih-lebih Islam dengan corak tanah lain. Sehingga, Islam yang datang dari
tanah Arab, tidak semuanya dapat diterapkan dalam kerangkanya yang Arab-awal.
Bahkan bisa jadi sangat berbahaya jika hal itu dipaksakan. Bahaya dari
proses mengidentifikan diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercerabutnya
kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, arabisasi belum
tentu cocok dengan kebutuhan.[2]
Secara tegas Gus Dur menyebut
arabisasi. Mengapa arabisasi? Terlihat bagaimana pribumisasi bermaksud
melakukan konservasi atas kedaulatan [kebudayaan] tanah. Dengan tanpa menolak
kehadiran Islam sebagai “yang asing” karena watak Arabnya, namun juga tidak
memberangus kebudayaan yang telah hidup di atas tanah tersebut di sisi lain. Pribumisasi
bukan upaya menghindari perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan
tetapi justru agar budaya [yang merupakan pengejawantahan nilai yang hidup
dari suatu tanah] itu tidak hilang. Di sini tampaknya, apa yang
dikatakan Syaiful Arif dalam Gus
Dur Pasca Kebudayaan bahwa sejak awal, Gus Dur memang bukan budayawan dan
Ia lebih tepat tersebut sebagai penggerak politik berbasis budaya justru
tidak tepat.[3] Hal ini jika ditilik
pada fase Gus Dur saat mengkonstruksikan pemikirannya, yang harus dipisahkan
dari fase pasca pemikiran [pasca kebudayaan dalam istilah Syaiful Arif] di masa
setelahnya.
Dari sini, dapat diambil gambaran umum bahwa pribumisasi Islam
hadir dalam konteks Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan dengan
lokus kebudayaan yang mengakar dalam kesadaran masyarakat. Dan sekarang kita
akan melihat bagaimana cara kerja pribumisasi Islam.
Cara kerja pribumisasi
Seperti yang telah disinggung
sebelumnya, pribumisasi Islam bermaksud menjinakkan nafsu hegemonik yang
ada dalam negara dan agama. Dengan demikian, tidak ada maksud meleburkan Islam
ke dalam budaya lokal dengan menghilangkan esensi atau unsur-unsur Islam,
lebih-lebih ketakutan akan terciptanya sinkretisme antara doktrin Islam dengan
keyakinan setempat. Sehingga pribumisasi Islam bukanlah jawanisasi atau
singkretisme, bugisisasi, melayunisasi, minangisasi dengan disertai
hilangnya unsur fundamental dari Islam. Sebab, pribumisasi hanya
berbentuk kerangka operasional ajaran Islam yang mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah
hukum itu sendiri.[4]
Di sini telihat jelas bahwa pribumisasi
Islam bekerja pada aras hukum agama, bukan pada keyakinan
keislaman [aqidah]. Jika dikembalikan kepada trilogi keberagamaan muslim;
keyakinan [iman], pengamalan [islam], dan penghayatan [ihsan],
maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud Abdurrahman Wahid dengan gagasannya itu
adalah pribumisasi [dimensi hukum] Islam, atau lebih dikenal
dengan fikih. Apakah hukum agama itu memungkinkan dipahami dengan mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan lokal? Lantas, bagaimana caranya? Di sinilah harus kita
akui akan kedalaman serta kekayaan wacana keagamaan Abdurrahman Wahid. Dalam
literatur ushul fiqh, fikih diartikan dengan pengetahuan tentang
hukum-hukum syariat yang dipahami dari dalil-dalil yang rinci.
Terdapat beberapa hal yang perlu
dicatat di sini. Yakni tentang pengetahuan, hukum, dan syariat.
Pengetahuan dalam konteks ini tidak dipahami sebagai pengetahuan absolut yang
pasti benar. Bahkan, pada dasarnya cukup berbentuk konstruksi wacana yang diformulasikan
oleh metode pemahaman tertentu yang masih bersifat asumtif [dugaan] atau dalam
istilah teknisnya disebut zhanni. Hal ini berbanding terbalik dengan syariat
yang diyakini sebagai kebenaran mutlak [qath’i]. Baik menurut ukuran
transmisi [wurud, periwayatan, pesebaran informasi] maupun pengertian
semantisnya [dalalah]. Dengan demikian, baik pengetahuan maupun metode
yang dipakai sama-sama bersifat asumtif-dugaan. Karena sifatnya yang demikian,
konstruksi wacana semacam ini sangat memungkinkan [halal] untuk direkonstruksi,
terutama dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal.
Sedangkan hukum dalam tradisi
ushul fiqh dimaknai dengan firman-firman Tuhan yang berfungsi sebagai standar
perilaku manusia [khitab allah al-muta’allaq bi af’al al-mutakallifin]. Seperti
yang dijelaskan Abdullah Wahhab Khalaf, firman Tuhan yang transenden tidak
mungkin dipahami manusia. Karenanya, firman dalam definsi di atas dapat
diartikan dengan korpus wahyu yang diterima Nabi Muhammad saw., baik yang
berbentuk al-Quran maupun al-Sunnah.[5]
Dengan demikian standar perilaku manusia menurut alur ini adalah al-Quran dan
al-Sunnah. Di sisi lain, tidak seluruh perilaku manusia disebutkan dalam kedua
‘buku’ tersebut. Di sinilah proses penalaran aktif itu muncul yang dalam ushul
fiqh disebut dengan istilah ijtihad atau istinbat. Cara
berijtihad berikut hasilnya, sekalipun melalui proses yang rumit dan ketat,
tetaplah merupakan kumpulan asumsi-asumsi. Dan ini sangat ditentukan oleh, meminjam
Andre Lalande, la raison constituante atau aql al-mukawwin menurut
istilah Arabnya.[6]
Yakni potensi nalar, kultur, dan semua hal yang membentuk kaidah dan cara-cara berfikir
tertentu [al-‘aql al-mukawwan]. Yang disebut terakhir ini diyakini
sebagai yang melahirkan epistemologi pengetahuan.
Dalam konteks pribumisasi
Islam, Abdurrahman Wahid menawarkan beberapa metode yang di antaranya
dengan pendekatan berbasis teks, dalam arti mempergunakan peluang yang
disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan perananan
kepada ushul fiqh dan qaidah fiqih. Dengan demikian, basis teksnya diterima
disertai modifikasi dalam cara menafsirkan [al-‘aql al-mukawwan]. Persoalannya,
apakah cukup dengan modal ushul fiqh? Pertanyaan lanjutannya, dari
beragam aliran ushul fiqh, manakah yang dikehendaki oleh Abdurrahman
Wahid?
Sebelum melanjutkan perbincangan,
perlu ditilik implikasi gagasan ini. Jika gagasan ini muncul pada medio 70-80an,
di tengah kultur kaum muslimin Indonesia yang sarwa-fikih berikut wajahnya yang
monolitik lagi kental, maka ajakan untuk mengubah pola pikir dari kebiasaan
mengkonsumsi “fikih jadi” seperti yang tersimpan dalam lipatan kitab kuning,
menjadi “fikih-ushuli” yang menekankan pada penggunaan ushul fiqh
sebagai basis penalaran, pastinya akan memantik perdebatan yang cukup keras. Nyatanya,
justru dengan kepiawaian komunikasi, gagasan ini berhasil menjebol kebekuan
berfikir di lingkungan NU. Yakni dengan ditetapkannya pola bermazhab secara
metodologis [manhaji], di samping bermazhab secara praksis [qauli]
sebagai acuan utama oleh Muktamar Nahdhatul Ulama pada 1992 di Lampung.[7]
Namun, semangat perubahan itu rupanya tidak sampai kepada lapisan bawah,
sehingga sampai saat ini hanya menjadi wacana elit. Di sini kita melihat ide jenius
yang harus digilas oleh ‘kegagalan’ akibat kurang seriusnya strategi untuk
membumikan.
Pada tataran ini, Abdurrahman
Wahid mengajak pada penggunaan metode-metode pemahaman yang baru dalam memahami
[hukum] agama. Namun, seperti disinggung sebelumnya, Abdurrahman Wahid belum
menawarkan ushul fiqh seperti apa yang hendak dipakai untuk menjinakkan [hukum]
agama itu. Tidak ada tawaran metodologis yang jelas terkait pengembangan
aplikasi nash atau model-model pembacaan teks. Kita hanya melihat bahwa Abdurrahman
Wahid sering menggunakan diktum-diktum [kaidah] fikih untuk mengkomunikasikan
gagasannya. Namun tidak menggunakan pengertian yang benar-benar identik dengan apa
yang tertera dalam nalar fikih klasik. Rupanya, Abdurrahman Wahid meninggalkan pekerjaan
rumah bagi penerusnya.[8]
Belum ditawarkannya pendekatan yang lebih tepat ini seperti diakui sendiri oleh
Abdurrahman Wahid bahwa masalahnya sekarang adalah bagaimana mempercepat
pengembangan pemahaman nash seperti itu dan agar berjalan lebih sistematik
lagi, dengan cakupan lebih luas dan argumentasi yang lebih matang.[9]
Standar yang harus dipenuhi
selain yang berbasis teks di atas adalah yang ‘mengapresiasi’ kepentingan
masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan pendekatan kedua yang ditawarkan Gus
Dur, pendekatan sosio-kultural. Yakni memperhatikan betul konteks
masyarakat yang menjadi objek hukum [ushul fiqh mahkum ‘alaih]. Konteks
di sini meliputi struktur sosial, kondisi ekonomi-poitik, dan perkembangan
teknologi. Yang semuanya bermuara pada pengembangan budaya dalam konteks kemasyarakatan.
Tujuan ini tidak akan terealisasi tanpa menyadari problem-problem pokok masyarakat.
Dengan demikian, dibutuhkan keinsafan yang mendalam, yang dapat menghindarkan
diri dari usaha memaksakan agendanya sendiri. Bagi Gus Dur, kelompok
politik Islam saat itu, baik yang tergabung dalam gerbong kaum modernis maupun
politikus yang menggunakan kendaraan kelompok tradisional, hanya terfokus pada
agenda-agenda simbolik seperti perebutan kekuasaan dan soal politik partai, dan
mengabaikan fakta-fakta kemelaratan kaum muslimin sendiri. Bagi Gus Dur, ini
hanyalah bentuk proses pelarian [eskapisme] dan tidak menguntungkan karena akan
menimbulkan kekeringan substitusi [perubahan keadaan yang sesungguhnya]. Karenanya,
sangat penting ditekankan terlebih dahulu pembicaraan tentang keadilan,
demokrasi dan persamaan yang diakuinya sebagai nilai-nilai dasar. Membicarakan
hal ini penting karena harus dipetakan antara nilai dasar dan kerangka
operasional. Kerangka operasional pada dasarnya mengacu pada kemasalatan. Seperti
dapat dipetik dari salah satu kaidah fikih, tasharruful imam alar ra’iyyah
manuthun bil mashlahah [tindakan pemegang kekuasaan harus berorientasi pada
kesejahteraan rakyat].
Maslahat sendiri, mengacu pada
apa yang dalam literatur ushul fiqh disebut dengan maqashid syariah,
yang terdiri dari perlindungan terhadap lima hal pokok; jaminan atas
keselamatan fisik/pribadi, keselamatan keyakinan, keselamatan hak milik,
kesucian keluarga, dan keselamatan profesi. Selama dalam koridor ini,
kebijakan dapat diakui masih dalam kerangka Islam. Sehingga pada dasarnya,
ajaran Islam dapat diterapkan dalam segala bentuk sistem, kecuali sistem
tiranik [thaghut] yang bertentangan secara mendasar dengan unsur-unsur utama
weltanschaung Islam sendiri, yaitu persamaan, keadilan, dan demokrasi.
Dari uraian di atas, dapat
diambil gambaran sementara tentang cara kerja pribumisasi Islam, yang
melibatkan landasan tekstual, metode pembacaan, berikut kontekstualisasinya. Dengan
demikian, apakah pribumisasi Islam hanya akan bekerja dalam wilayah
norma formal Islam [fikih]?
Wilayah Kerja Pribumisasi
Sepertinya akan terasa kering
jika kita memahami pribumisasi dalam konteks epistemologinya tanpa
melihatnya melalui kerangka ideologisnya. Pribumisasi bekerja untuk satu
visi sosial tertentu. Sekalipun berangkat dari landasan tekstual, lalu
berhadapan dengan pandangan [fikih] keagamaan yang kaku yang bercorak arabistik,
baik yang dibawa kelompok tradisional maupun non-tradisional. Karenanya, pribumisasi
berhadapan dengan ortodoksi itu sendiri.
Ketika “asing”-isasi telah
merambah baik cara berfikir, kebudayaan, dan negera, maka di sanah pribumisasi
juga mengarahkan wilayah kerjanya. Dalam berfikir, pribumisasi mengedepankan
paradigma yang dibangun di atas kepentingan yang lokal atau mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan lokal.
Dalam bahasa, pribumisasi bekerja
untuk melawan maraknya “ana”, “antum”, “ikhwan”, dan “shalat”, dengan
mengadvokasi “saya”, “anda”, “sahabat” dan “sembahyang”. Dalam politik,
pribumisasi mendukung demokrasi substansial, yang mengedepankan dialog
kebudayaan sebagai wahana menyelesaikan problem.
Dalam kerangka yang lebih luas
Ahmad Baso mengatakan bahwa kebudayaan merupakan ruang untuk melakukan negosiasi
nilai, oposisi, dan bahkan resistensi terhadap dominasi suatu baru datang. Di
sini pribumisasi bekerja untuk memberikan ruang dialog bagi nilai-nilai yang
[di]besar[kan], pusat, modern, dengan nilai-nilai yang [dianggap] kecil,
pinggiran, dan lokal. Dapat dilihat bahwa pribumisasi dapat menjadi ruang
publik, suatu wahana dialogis yang dinamis antara berbagai macam nilai dan kepentingan.[10]
Penutup
Sedikit uraian di atas mungkin
belum dapat menggambarkan kerangka epistemis Gus Dur secara utuh. Dibutuhkan
waktu yang tidak sebentar dan kesempatan yang luas. Dari pembacaan yang kasar,
penulis mendapatkan kesan bahwa Gus Dur kurang dapat menggunakan bahasa yang tegas.
Ide-ide yang dilontarkannya seperti dalam tahap penyusunan. Kejelasan dan
kelengkapan metode pembacaan mungkin tidak dapat dicari dalam gagasan Gus Dur
ini. Tapi, sebagai proses perkembangan sejarah, tentu apa yang difikirkan Gus
Dur sangat berarti. Terutama untuk membuka cakrawala kaum santri.
Terdapat banyak maksud Gus Dur
yang belum tersampaikan saat menuliskan gagasannya. Mungkin seperti yang dikatakan
Jabiri bahwa seorang pemikir seringkali menyembunyikan pikiran-pikirannya, [seperti]
dengan cara menyampaikan dengan bahasa-bahasa tertentu, karena adanya
tekanan-tekanan psiko-sosial. Demikian pula dengan Gus Dur. Bahasa fikih yang
beliau gunakan sangat mungkin dipengaruhi oleh psiko-sosial keagamaan masanya. Mungkin
untuk menghindari resistensi.
Karenanya, pendekatan yang lahir
dan dikenal oleh komunitas yang dihadapinya sangat diperlukan dalam hal ini. Gus
Dur membutuhkan ruang yang lebih bebas untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya
secara jujur. Penggunaan ushul fiqh berikut kaidah fikih, seperti diungkapnnya
sendiri, karena fikih memiliki efektifitas serta kelenturan yang memadai untuk
membangun gagasan-gagasan kemodernan. Tentunya fikih yang dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan
lokal. Apapun instrumennya. Sepertinya, di sinilah lahan garapan para gusdurian
bukan?
[1]
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam
dan Fundamentalisme Liberal, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 302
[2]
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Jakarta:
Desantara, 2001), hlm. 119
[3] Syaiful Arif, Gus Dur Pasca
Kebudayaan, ngakses nek grup pesbuk gusdurian...
[4]
Abdurrahman Wahid, Pergulatan… hlm. 119
[5]
Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh al-Islami, hlm.
[6]
Mohamed Abid al-Jabri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz
al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hlm. 15
[7]
Lihat dalam Ahkamul Fukaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Kumpulan
Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdhatul Ulama, disunting oleh Imam Ghazali
Said, (Surabaya: LTN NU bekerjasama dengan Diantama), hlm. 470
[8]
Pasca Abdurrahman Wahid, banyak orang begitu mengapresiasi dan menerima model
pembacaan baru terhadap teks keagamaan. Pada waktu yang sama, masyarakat di
lingkungan akademis mulai melirik model-model pembacaan yang berkembang di Barat,
seperti Hermenetik, Semiotik, tradisi Post-modern, Gender, HAM, Multikultural,
dan beragam perspektif lainnya. Tema Pribumisasi Islam mendapatkan
penafsirannya yang tajam dari Ahmad Baso Plesetan Lokalitas: politik
pribumisasi Islam.
[9]
Abdurrahman Wahid, Pergulatan…., hlm. 124
[10]
Ahmad Baso, Plesetan Kebudayaan: Politik Pribumisasi Islam, (Jakarta:
Desantara, 2002), hlm. 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar