Sabtu, 28 April 2012

Ayat-Ayat Multikulturalisme; Pesan al-Quran tentang “Perbedaan dalam Kedamaian”

 Pendahuluan
Bagaimanakah membangun suatu masyarakat yang ideal? Di atas dasar apa suatu masyarakat yang ideal itu dapat ditegakkan? Dua pertanyaan yang bernada filosofis ini telah memancing perdebatan yang memakan waktu cukup lama dalam sejarahnya. Plato [427-347 SM.], filsuf Yunani Kuno memandang model kehidupan negara-kota lah yang paling ideal. Negara ideal tidak boleh terlalu gemuk, cukup seluas kota agar mudah melakukan perencanaan, pengaturan, dan pendisiplinan.[1] Al-Farabi [w. 874 M.], sebagai wakil filsuf dari dunia Islam menawarkan konsep Madinah Fadhilah [Kota Utama] di mana seluruh kehidupannya didasarkan pada rasionalisasi [al-‘aql] yang menyatukan seluruh elemen masyarakatnya. Tanpa mempertimbangkan besaran wilayah suatu negara. al-Mawardi [w. 1058 M.], ahli hukum tata negara klasik menyatakan sebuah negara harus disatukan oleh suatu ideologi yang berwibawa dan diterima-patuhi oleh seluruh elemen yang hidup di dalamnya. Ideologi itu bernama agama [al-din al-mutha’].


Kemudian, kehidupan modern saat ini banyak dibangun di atas dasar kebangsaan. Konsep kebangsaan yang mulai dikenal berbarengan dengan kemunculan modernitas, dilanjutkan kolonialisme terhadap dunia ketiga, dan berakhir dengan penerimaan model kehidupan politik yang berbasis kesatuan kebangsaan menuntut banyak penyesuaian, perumusan, dan inovasi-inovasi baru dalam berkehidupan. Termasuk bagaimana menempatkan kehidupan beragama kita dalam bingkai kebangsaan yang telah kita terima itu.

Awalnya, konsep kebangsaan menuntut kesatuan asal; ras, bahasa, budaya, filosofi berfikir dan bahkan mungkin keyakinan. Negeri asal konsep ini muncul memang demikian adanya. Setiap suku bangsa memiliki lembaga politiknya sendiri. Sehingga timbul negeri-negeri kecil yang terpisah-pisah, independen, antara satu dan lainnya. Hal ini tentu saja berbeda dengan konteks Indonesia. Ribuan suku yang memiliki tradisi, adat-istiadat, filosofi dan keyakinan yang berbeda dipaksa-persatukan dalam sebuah negara kesatuan bernama NKRI. Hal ini tidak dapat disebut anomali dari konsep kebangsaan. Karena, konsep kebangsaan yang diambil adalah model Ernest Renan, seorang filsuf kawakan Prancis. Suatu kehidupan yang dibangun di atas dasar keinginan untuk hidup bersama dalam satu wadah negara. Yang boleh jadi diisi oleh kelompok masyarakat yang berbeda secara etnis, bahasa, dan keyakinan. Di sinilah problem keragaman kebudayaan itu timbul. Seseorang atau suatu masyarakat dituntut membiasakan diri menggunakan lebih dari satu kebudayaan. Demikianlah buku Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti kebahasaan terhadap konsep multikulturalisme.  

Ketika seseorang tidak dapat beradaptasi, karena kendala-kendala kulturalnya, akan segera muncul ke permukaan gesekan, sentimen, serta pertarungan yang tentu saja menimbulkan sentimen kesuku-bangsaan serta identitas lainnya. Menurut Robert W. Hefner dalam kehidupan modern-demokratis seperti saat ini, tidak ada ancaman yang lebih mengkhawatirkan bagi impian modern mengenai kewarganegaraan demokratis daripada terjadinya perpecahan-perpecahan etnis, religius, dan linguistik yang tajam dalam masyarakat. Sejak awal era modern, para teoretis liberal Barat merasa pesimis terhadap prospek-prospek tata pemerintahan demokratis di Negara-negara yang sangat majemuk. Pada abad ke-19, seorang tokoh besar, J.S. Miller, menulis bahwa “Institusi-institusi merdeka nyaris mustahil muncul di Negara yang terdiri dari bangsa-bangsa yang berlainan. Di antara orang-orang yang tidak memiliki rasa kesamaan, khususnya jika mereka membaca dan berbicara dengan bahasa-bahasa yang berlainan, opini publik yang menyatu, yang perlu bagi bekerjanya pemerintahan yang representative, tidak bias hidup”. Di sini ada sebuah ironi. Orang-orang liberal abad ke-19 seperti Mill sigap dalam mengakomodasi pluralitas kepentingan-kepentingan utilitarian di antara para penjual dan pembeli di pasar. Tetapi ketika sampai pada kehidupan publik dan politik, orang-orang liberal itu “Benar-benar tidak siap menghadapi kemajemukan budaya”. Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia 1, sejumlah kecil pemikir Barat mengungkapkan keyakinan bahwa demokrasi masih mungkin muncul di dalam masyarakat multikultural.[2]

Terdapat dua hal yang patut dicatat dari ulasan singkat di atas. Pertama, suatu kehidupan bersama memerlukan kesamaan pandangan. Di sini, adanya suatu dasar yang disapakati menjadi penting. Kedua, model kehidupan yang berdasarkan demokrasi di tengah kemajemukan mempunyai tantangan besar berupa perpecahan jika tidak dikelola dengan baik. Sehingga, salah satu pertanyaan paling penting bagi kita yang hidup di Indonesia adalah bagaimana kita memahami satu sama lain dalam perbedaan. Terlebih ketika pikiran, akal, dan kehidupan manusiawi sudah dijajah oleh kekuatan uang dan kekerasan. Selain itu banyak faktor yang merusak akal budi kita sehingga kita tidak lagi berkomunikasi secara rasional. Kita tidak lagi rasional karena dipengaruhi oleh dogmatisme tradisi-tradisi kita, termasuk tradisi agama [?].

  Persoalan dalam Masyarakat Multikultural
Mega Hidayati menuliskan bahwa masyarakat multikultural menyadarkan kita tentang adanya cara hidup yang berbeda. Setiap orang bebas untuk memilih apa yang ia pandang sebagai jalan yang benar. Permasalahannya, seseorang seringkali menggunakan kepercayaannya untuk melihat orang lain. Knitter menyatakan bahwa setiap orang memiliki teleskopnya masing-masing, yang merepesentasikan budaya atau agamanya, untuk melihat dan mengamati yang lain. Namun perspektif kita tentang kebajikan hanya sejauh area yang dicapai teleskop ini. Karena itulah kita butuh teleskop-teleskop lain untuk memperluas sudut pandang kita yang terbatas. Jika kita menganggap bahwa kebenaran adalah sebagaimana yang kita lihat melalui teleskop budaya dan agama kita sendiri, itu berbahaya.
Persoalan pertama adalah prasangka. Seseorang tidak dapat menghindari prasangka-prasangka yang muncul ketika hidup berdampingan dengan orang yang memiliki budaya dan agama berbeda. Salah satu yang mempengaruhi prasangka adalah opini yang telah terbentuk atau identitas yang telah diberikan oleh masyarakat tertentu. Tidak jarang kita mendengar seseorang memberikan stereotip atau cap pada etnis tertentu, misalnya bahwa orang sumatera dan orang dari Indonesia bagian Timur itu berperangai keras dan kasar (sehingga beberapa pemilik rumah kos di Yogyakarta, misalnya, enggan menerima mereka), atau bahwa orang Cina, Minang, dan Sunda materialistis.
Persoalan kedua adalah kesalahpahaman. Misalnya sebuah keluarga yang sedang mempunyai hajat; seorang anaknya akan menikah. Maka, berkumpullah keluarga besar  di rumah tersebut. Para perempuan memasak dan menyiapkan hiasan-hiasan pernikahan. Seorang ibu dari keluarga besan berinisiatif ikut membantu. Namun, salah seorang keluarga tuan rumah berkata, “Sudahlah, Bu. Kami pandai mengerjakannya.” Mendengar ini, sang ibu tersinggung. Ia pergi dan menangis. Sang ibu mengira, perkataan tersebut berarti ia dianggap tidak “becus” bekerja dan diminta menghentikannya. Padahal, maksud dari kalimat tersebut adalah “Aduh, ibu jangan repot-repot. Biar kami saja yang mengerjakannya.” Ini kasus salah paham kecil. Dalam kasus dan konteks lain, salah paham bisa berakibat mengerikan: pertikaian, antarsuku, perang antaragama.
Persoalan ketiga yang dapat muncul dalam masyarakat multikultural adalah konflik dan kekerasan. Kondisi ini sangat berkaitan dengan persoalan pertama dan kedua. Prasangka dan kesalahpahaman potensial membawa konflik dan kekerasan. Kefanatikan terhadap budaya sendiri dapat menyebabkan seseorang memandang budaya orang lain sebagai bertentangan, mengganggu, dan salah. Namun, kita juga harus menyadari banyaknya faktor yang mungkin melatari sebuah konflik, antara lain ekonomi dan politik.
Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita bereaksi terhadap budaya orang lain agar dapat menghindari konflik dan kekerasan, dan bisa saling memahami? Sementara pada saat yang sama terdapat persoalan-persoalan sangat mendesak yang butuh diselesaikan bersama: kemiskinan, kelaparan, pedamaian, pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi, dan ketidakadilan?[3]
Sekalipun konflik telah mewarnai sejarah kehidupan manusia, namun bukankah setiap manusia selalu menghidupkan harapan akan munculnya suatu kedamaian dalam hatinya? Seluruh yang disebutkan di atas merupakan warna kehidupan yang coba dirajut oleh manusia. Di tengah konstruksi wacana, pengetahuan, sistem kehidupan yang dirancang oleh manusia-manusia atas angin, ada baiknya jika kita juga sedikit menengok pesan-pesan Tuhan tentang tema ini. Tulisan ini bermaksud mendedahkan pesan-pesan itu ke dalam konteks perbedaan kultur. Ketika keragaman kultur telah menjadi problem, apa saja yang pernah dikatakan al-Quran tentang kehidupan yang penuh perbedaan? Kearifan apa yang dibawakannya untuk manusia yang hidup dalam dunia yang penuh warna? Tafsur maudhu’i-ijtima’I ini dimaksudkan untuk ‘memaksa’ al-Quran berbicara tentang perbedaan dan keragaman. Tulisan ini akan diawali dengan menyuguhkan respon-respon yang pernah dilontarkan al-Quran terhadap isu kesuku-bangsaan, keragaman, serta pesan-pesannya terhadap isu di atas.

 Ayat-Ayat Tentang Keragaman   
Penelitian ini didasarkan pada data yang diambil dari buku al-Quran dan Terjemah terbitan Maghfirah Pustaka yang mencantumkan indeks tematis al-Quran. Indeks tersebut merupakan hasil penelitian Dr. Muhammad Hasan al-Himshi. Setelah meneliti status Makki-Madaninya menggunakan standar Daftar Isi dan Penjelasan Makki-Madani al-Quran terbitan Lembaga Penerbitan al-Mushaf al-Syarif Raja Fahd [Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thaba’at al-Mushaf al-Syarif], penulis menemukan terdapat tiga puluh tujuh surat yang membahas tema keragaman dan kesukuan. Dua puluh tujuh surat berstatus Makkiyyah, dan sepuluh surat berasal dari golongan Madaniyyah.
Dari ketigapuluh surat tersebut, al-Himshi memetakan ke dalam sembilan [9] tema pokok; [1] dijadikan dari satu jiwa, [2] perbedaan-perbedaan manusia, [3] bangsa-bangsa kabilah dan sekte, [4] kelebihan antara satu dan lainnya, [5] tiap umat mempunyai ajal, [6] kepemimpinan dunia, [7] bangsa Arab, [8] bangsa-bangsa dan [9] suku-suku dan terakhir orang-orang badui.[4] Secara berurutan dimulai dari yang terbanyak, dapat disajikan seperti di bawah ini;

1.       Dijadikan dari satu jiwa [20 surat]
2.       Perbedaan-perbedaan manusia [16 surat]
3.       Bangsa-bangsa kabilah dan sekte [12 surat]
4.       Kelebihan antara satu dan lainnya [8 surat]
5.       Tiap umat mempunyai ajal [8 surat]
6.       Kepemimpinan dunia [6 surat]
7.       Bangsa Arab [6 surat]
8.       Bangsa-bangsa dan suku-suku [3 surat]
9.       Orang-orang badui [3 surat]


 Kesamaan Muasal Manusia
Menurut penulis, keragaman sudah menjadi isu penting yang dibawa al-Quran pada fase Mekah. Konteks masyarakat muslim yang minoritas di tengah keragaman kepercayaan orang-orang Mekah, serta tekanan yang sangat kuat dari kelompok yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik dan militer, sepertinya membuat isu keragaman menjadi penting untuk diangkat. Paling tidak sebagai bentuk strategi untuk memudahkan jalan dakwah yang memang terbilang baru, dan mendapat banyak ganjalan, selain sebagai usaha memberikan dasar-dasar universal bagi ajaran yang didakwahkan. Sebagaimana dimaklumi, surat-surat Makkiyah kebanyakan berisikan dasar-dasar agama dan kemanusiaan. Dalam hal ini, al-Quran menggunakan strategi kesatuan asal kemanusiaan [al-Ittihad al-mabda’ al-insani], atau diciptakan dari jiwa yang satu dalam bahasa al-Himshi [khuliqa min nafs wahidah]. Ini dibuktikan dengan ditemukannya 18 surat berstatus Makkiyah yang membahas tema kesatuan tersebut. Jauh lebih banyak dibanding yang berstatus Madaniyah yang hanya terdiri dari 2 surat. Kesatuan merupakan lawan dari keragaman itu sendiri. Al-Quran menggunakan isu kesatuan muasal untuk mengatasi problem keragaman. Dari dua puluh [20] surat yang membahas muasal manusia, delapan belas [18] surat yang berstatus Makkiyah kebanyakan membahas tentang asal manusia sebagai makhluk materi. Pada QS. al-‘Alaq [96]: 2, dikatakan,

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Surat yang pertama kali turun ini mengatakan bahwa Rabb menciptakan manusia dari ‘alaq, yang berarti gumpalan darah menurut penafsiran klasik dan sebuah benda yang menggantung di rahim [zigot] menurut penafsiran modern. Sedangkan surat yang turun pada urutan ke-23, al-Najm, juga menyebutkan asal manusia.

وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى  مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.
Dari air mani, apabila dipancarkan.

Manusia dalam ayat ini disebutkan terdiri dari dua macam-pasang; laki-laki dan perempuan, al-zaujain al-dzakara wa al-untsa. Sekalipun berbeda kelamin, keduanya dikatakan sama-sama berasal dari air mani yang dipancarkan. Kemudian surat yang turun pada urutan ke-28, QS. al-Tin [95]: 4-5, menjelaskan suatu fase di mana manusia merasakan kesempurnaan wujudnya, ahsan al-taqwim. Allah swt. berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),

Kesatuan muasal material manusia juga diangkat dalam dua surat Madaniyyah; al-Insan dan al-Hajj. Namun, tidak sebanyak pada fase-fase Mekah. Kemungkinan karena telah kuatnya posisi kaum muslimin. Baik secara ekonomi, politik, militer maupun keagamaan. Kemungkinan berikutnya, kebanyakan wahyu saat itu lebih diorientasikan pada proses legislasi peraturan-peraturan bagi komunitas Madinah. Sehingga dasar-dasar keagamaan dan kemanusiaan cenderung dianggap cukup dengan apa yang telah disampaikan pada periode Mekah.   
 
Perbedaan di Kalangan Manusia
Kembali kepada kesamaan muasal, umat manusia mulai mengalami perpecahan dan dirundung problem perbedaan. Di sini, perbedaan menjadi masalah. Al-Himshi mencatat terdapat 16 surat yang membahas tema ini, dengan rincian 10 surat Makkiyah dan 6 surat Madaniyyah. Dengan demikian, di samping banyak menekankan kesamaan muasal, al-Quran juga mengingatkan adanya perbedaan di lingkungan umat manusia. Perbedaan menjadi isu penting kedua setelah kesamaan muasal manusia. Terbukti, perbedaan-perbedaan manusia menempati posisi terbanyak kedua setelah surat-surat yang membahas kesatuan muasal manusia. Perbedaan di sini meliputi perbedaan manusia dalam ketaatannya kepada Tuhan seperti dalam al-Zukhruf, al-Jatsiyah, dan Syura. Manusia dipetakan antara yang bersedia menerima petunjuk Tuhan dan yang menolak, yang beriman dan yang kafir. Perbedaan juga ditujukan pada perpecahan ke dalam sekte-sekte keagamaan. Selain itu, manusia juga berbeda dari segi asal puak [al-nasl], karakteristik masing-masing, dan perbedaan akhir kejayaan suatu kelompok manusia, seperti disinggung oleh surat al-Mukmin.

Sebab-Sebab Perpecahan Umat Manusia Perspektif al-Quran
QS. al-Baqarah [2]: 213 menyebutkan,

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Bahwa di antara sebab perpecahan di lingkungan umat manusia ialah rasa dengki yang terjadi antara sesama mereka. Kedengkian itu sendiri muncul di tengah jelasnya ketentuan-ketentuan hukum. Jelasnya batasan hukum tidak membuat persoalan selesai. Perselisihan itu sendiri muncul setelah umat manusia pada mulanya bersatu. Fungsi kehadiran para nabi adalah untuk melerai, memberi peringatan, memberi keputusan di antara perkara yang diperselisihkan.

Sebab perbedaan lainnya seperti diungkapkan al-Baqarah [2]: 113 yang mengatakan,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

Dan orang-orang Yahudi berkata, “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan.” Padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti Ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.  

Menurut Abu Ja’far al-Thabari [w. 310 H.] ayat ini merupakan bentuk peringatan dari Allah kepada kaum beriman. Agar tidak mengikuti sikap kaum Yahudi dan Nasrani yang mensia-siakan ketetapan yang terdapat dalam kitab suci mereka. Allah mengutip pernyataan kaum Yahudi dan Nasrani, di mana keduanya saling kritik atas keabsahan kenabian pembawa ajaran lawannya. Padahal masing-masing kitab suci yang menjadi pegangan mereka memberikan kesaksian atas kebenaran yang lain. Bahwa Musa dan Isa adalah utusan Tuhan, bahwa Taurat dan Injil sama-sama berasal dari-Nya. Ayat ini turun berkaitan dengan kedatangan pemimpin kaum Nasrani daerah Najran untuk menghadap Nabi. Kemudian tokoh-tokoh Yahudi juga turut hadir dalam majlis pertemuan tersebut. Terjadi perdebatan tentang kenabian-kerasulan kedua pembawa ajaran tersebut. al-Quran mengkritik sikap keduanya yang mengabaikan dogma kitab sucinya. Bukan murni karena polemik yang terjadi di antara mereka, tapi melihat di sisi lain bahwa mereka yang memperdepatkan itu tidak menjalankan kandungan-kandungan kitab sucinya.[5] Dari sini dapat dipahami bahwa sumber perbedaan dan perpecahan di kalangan umat beragama ialah mengabaikan ajaran agamanya masing-masing. Seandainya mereka murni mengamalkan ajaran agamanya, niscaya perpecahan-polemik semacam itu tidak terjadi. Karena, tiap-tiap agama mengajarkan pemeluknya untuk menjadi manusia-manusia saleh dan menghargai yang lain.


Perbedaan Asal Puak… Untuk Saling Mengenal dan Menolong…
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat [49]: 13)

Ayat ini menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang sama, kemudian dijadikan dalam kelompok syu’ub dan qabail. Seluruh manusia setara dalam kemuliaan sebagai keturunan Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Mereka menjadi lebih mulia daripada yang lain hanya berdasar tingkat keberagamaannya. Yakni sebatas mana ketaatan mereka kepada Allah dan rasul-Nya.[6] Sedangkan tujuan penciptaan semacam itu ialah agar masing-masing saling kenal-mengenal. Menurut Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di [w. 1376 H.] fungsi ta’aruf dalam konteks ayat ini ialah untuk menumbuhkan semangat saling tolong-menolong, saling mewarisi, dan menjaga hak-hak kerabat. Hal itu hanya dapat terwujud jika terdapat perbedaan identitas primordial dan kondisi saling mengenal satu sama lain.[7] Ibnu Katsir [w. 774 H.] menambahkan bahwa perbedaan identitas primordial tidak boleh dijadikan dasar persaingan yang tidak sehat, seperti sikap saling menjatuhkan, menghujat dan bersombong-sombongan [al-Tafakhur].[8]


 Karakteristik Orang Arab Badui; Kritik dan Bimbingan al-Quran

الْأَعْرَابُ أَشَدُّ كُفْرًا وَنِفَاقًا وَأَجْدَرُ أَلَّا يَعْلَمُوا حُدُودَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (97) وَمِنَ الْأَعْرَابِ مَنْ يَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ مَغْرَمًا وَيَتَرَبَّصُ بِكُمُ الدَّوَائِرَ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (98) وَمِنَ الْأَعْرَابِ مَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبَاتٍ عِنْدَ اللَّهِ وَصَلَوَاتِ الرَّسُولِ أَلَا إِنَّهَا قُرْبَةٌ لَهُمْ سَيُدْخِلُهُمُ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (99 وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (100) وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ (101) وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (102) خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (103)
97. Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 98. di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagi suatu kerugian, dan Dia menanti-nanti marabahaya menimpamu, merekalah yang akan ditimpa marabahaya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. 99. di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa rasul. ketahuilah, Sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). kelak Allah akan memasukan mereka kedalam rahmat (surga)Nya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 100. orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. 101. di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmuitu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. 102. dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 103. (QS. al-Taubah [9]: 97-103)

وَآخَرُونَ مُرْجَوْنَ لِأَمْرِ اللَّهِ إِمَّا يُعَذِّبُهُمْ وَإِمَّا يَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (106) وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (107) لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (108)
106. dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 107. dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). 108. janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. 109. (QS. al-Taubah [9]: 106-108)

Sekalipun sama-sama orang Arab, terdapat beberapa karakter dan sifat yang berbeda di antara mereka. Di antara mereka ada yang berwatak keras, materealis, mudah mengikuti kebaikan, ambivalen, mudah mengakui kesalahan, dan gemar memprovokasi. Dari rangkaian al-Taubah di atas dapat disimpulkan beberapa sifat orang Arab Badwi;

1.       Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya.
2.       di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagi suatu kerugian
3.       di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah,
4.       orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
5.       di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah.
6.       dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.
7.       dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin).

Bahwa tidak seluruh orang Arab berwatak keras, bengis, dan anti kebenaran. Ada juga orang-orang yang hanif, mau mengikuti kebenaran, dan mendapatkan ridha Allah.

 Akhir[an]… Pesan untuk Saling Menghormati… Menuju Kehidupan yang Damai…
Ulasan di atas menyiratkan kepada kita bahwa al-Quran tidak turun pada masyarakat yang homogen. Kesalahan besar ketika dikatakan orang Arab hanya terdiri dari satu macam. Bahkan isu keragaman telah banyak disinggung dalam periode Mekah, sekalipun tidak secara langsung. Cara al-Quran mengatasi prpoblem keragaman ialah dengan mengembalikan kepada akar universal kemanusiaan. Terutama kesama-setaraan pada level materialnya. Sebaliknya, al-Quran sangat menghargai pembedaan-pengkelasan pada level spiritual-ketaatan. Pandangan demikian tentu berbeda dengan sebagian pandangan yang mengukur banyak hal melalui ukuran lahiriah, sehingga timbul kelas-kelas sosial yang basis penilaiannya adalah materi.
Perbedaan pada level materi hanya menjadi identitas primordial yang berfungsi untuk saling mengenal, menghormati, dan saling menolong dalam berkehidupan. Hingga pada akhirnya, lahir kehidupan damai yang dipenuhi oleh warna keragaman. Suatu model kehidupan yang menyatu dan unik. Wallahu A’lam bis Shawab.     





Referensi:
-          Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia, 2007)
-          Robert W. Hefner, Politik Multikulturalisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
-          Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2008)
-          Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-Quran, (Maktabah Syamilah)
-          Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Maktabah Syamilah)
-          Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Maktabah Syamilah)



[1] Lihat dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia, 2007), hlm. 26
[2] Robert W. Hefner, Politik Multikulturalisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 11-12
[3] Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal.24-26
[4] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, (Maghfirah Penerbit), hlm. xxiii
[5] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-Quran, (Maktabah Syamilah), juz 2, hlm. 514
[6] Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Maktabah Syamilah), juz 7, hlm. 385
[7] Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Maktabah Syamilah), hlm.  801
[8] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Maktabah Syamilah), juz 7, hlm. 385

2 komentar: