Sabtu, 28 April 2012

Soal Pribumisasi; Konteks, Cara dan Wilayah Kerja Edisi Ahmad Baso

Prolog
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan sosok yang kontroversial. Memahami pemikirannya yang merentang sekian lama tidaklah mudah. Ibarat sebuah teks, jalinan makna yang dikonstruksikannya begitu amburadul, acak, multi-tafsir, dan sulit. Karenanya, cukup menarik mengurai benang kusut ini melalui kajian reguler-tematis seperti yang digagas oleh kawan-kawan Pojok Pemikiran Gus Dur tempo hari. Gus Dur telah menyuguh-tawarkan tema-tema besar yang menantang untuk dikaji dan diuji. Apakah tawarannya cukup relevan untuk dipakai dan dikembangkan di masa yang akan datang seperti yang dipahami oleh Ahmad Baso?[1]  


Karenanya, di sini tidak akan dibicarakan tentang relevansi pribumisasi ke depan. Karena, seperti yang sering dikatakan Gus Dur sendiri, sejarah yang akan membuktikan. Pada diskusi kali ini kita akan memfokuskan diri pada salah satu tema besar yang digulirkannya, yakni tentang pribumisasi Islam. Isu yang cukup kontroversial karena dipahami secara berbeda sekaligus salah. Suatu pemahaman yang tidak dikehendaki oleh pengujarnya.

Untuk sementara, penulis akan menempatkan pribumisasi Islam sebagai satu ide di satu sisi, dan sebagai epistemologi yang berkelindan dengan tantangan ideologis zamannya di sisi yang lain. Penempatan sebagai ide menjadi penting karena pribumisasi merupakan produk pemikiran yang ditawarkan untuk memecahkan suatu problem sosial tertentu. Kemudian bagaimana ide itu dikonstruksikan oleh pencetusnya, yang tentu saja dalam hal ini melibatkan aspek sosio-politik, sosio-kultural, dan sosio-akademik sekaligus. Di samping kepentingan serta visi ideologis [madhmun aidiyuluji] yang diembannya. Dari sinilah nanti kiranya akan ditemukan dimensi epistemologis-ideologi dari pribumisasi.             

Konteks Pribumisasi
Terma Pribumisasi merupakan pilihan kata [diksi] yang menarik. Yang tentu saja menggambarkan struktur serta cara bernalar penggunanya. Pribumi merujuk pada pengertian keaslian serta hubungannya dengan suatu tempat tertentu, suatu tanah, berikut segala yang hidup di atasnya yang meliputi kebudayaan, kehidupan politik, gerak ekonomi, dan lainnya. Kesadaran ini berakhir pada klaim kepemilikan dan penguasaan. Tepatnya, kepemilikan dan penguasaan atas tanah. Hidup manusia seringkali dipenuhi dengan yang semacam itu. Segala cara dilakukan untuk memperebutkan dan mempertahankannya. Hanya orang-orang yang mengalami distorsi nalar, atau determenisme kehidupan yang tidak menyadari ancaman atas tanahnya. Kesadaran ini, dalam konteks politik modern diterjemahkan dengan terma nasionalisme. Semangat untuk mempertahankan kedaulatan [tanah] sendiri dari ancaman “yang asing”. Sehingga pemilihan kata ini meniscayakan lawannya yang tidak disebut secara langsung, yakni “yang asing”, “tidak asli” atau “yang pendatang”.
   
Meminjam pemetaan Edward Said-Foucalt, yang membagi relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme menjadi kekuasaan politis, kekuasaan intelektual, kekuasaan kultural, serta kekuasaan moral, yang menjadi kecenderungan dominan manusia kulon untuk menguasai wetan menjadi semakin jelas bahwa tanah bukan saja berbentuk materi halus tempat manusia berpijak. Mempertahankan tanah bukan hanya mempertahankan penguasaan secara politik atas tanah, tapi juga menjaga dari eksploitasi intelektual yang hidup di atas suatu tanah untuk kepentingan liyan yang mengancamnya, menjaga dari terjadinya peleburan kebudayaan yang [menjadi identitas sekaligus tata] hidup di atasnya, juga tidak mengabaikan kedaulatan moral yang dibentuk oleh suatu tanah. Pada konteks semacam inilah pribumisasi ingin dipijakkan. Bahwa penerimaan segala yang asing selayaknya tidak menjadikan kita tercerabut dari akar budaya tempat kita hidup. Apapun bentuk yang asing itu, termasuk dalam cara “berislam” atau cara “bernegara”. Secara umum, pribumisasi hadir dalam konteks pergulatan negara, agama, dan kebudayaan. Dengan titik tolak kebudayaan yang diperhadapkan dengan kekuatan-kekuatan [yang punya potensi] hegemonik, seperti negara dan agama, pribumisasi berusaha menjinakkan nafsu hegemoniknya. Di tengah dominasi yang “negara”, yang “pusat”, yang “modern”, yang “arus besar”, pribumisasi Islam bermaksud mengadvokasi, memberikan kesempatan bersuara kepada yang “masyarakat”, yang “daerah-lokal”, yang “tradisional”, dan yang “arus kecil”.   

Negara Orde Baru dengan proyek pembangunan [modernisasi] di segala bidang, yang mencoba mendorong praktek-praktek kebudayaan rakyat agar mengikuti arus proyek ini di satu sisi, serta konservasi dan kecurigaan penuh rakyat yang memiliki tradisi sendiri, menjadikan benturan tidak terelakkan. Khususnya kalangan pesantren, yang bagi Gus Dur merupakan tempat hidupnya yang memiliki basis-basis nilanya sendiri yang unik [yang disebutnya sebagai subkultur], akan sangat sulit ditembus jika tidak dimengerti secara mendalam. Pesantren yang merupakan gambaran Islam yang telah membumi sekaligus mempribumi saja, sangat sulit mengikuti alur pemikiran negara, lebih-lebih Islam dengan corak tanah lain. Sehingga, Islam yang datang dari tanah Arab, tidak semuanya dapat diterapkan dalam kerangkanya yang Arab-awal. Bahkan bisa jadi sangat berbahaya jika hal itu dipaksakan. Bahaya dari proses mengidentifikan diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan.[2]

Secara tegas Gus Dur menyebut arabisasi. Mengapa arabisasi? Terlihat bagaimana pribumisasi bermaksud melakukan konservasi atas kedaulatan [kebudayaan] tanah. Dengan tanpa menolak kehadiran Islam sebagai “yang asing” karena watak Arabnya, namun juga tidak memberangus kebudayaan yang telah hidup di atas tanah tersebut di sisi lain. Pribumisasi bukan upaya menghindari perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya [yang merupakan pengejawantahan nilai yang hidup dari suatu tanah] itu tidak hilang. Di sini tampaknya, apa yang dikatakan Syaiful Arif dalam Gus Dur Pasca Kebudayaan bahwa sejak awal, Gus Dur memang bukan budayawan dan Ia lebih tepat tersebut sebagai penggerak politik berbasis budaya justru tidak tepat.[3] Hal ini jika ditilik pada fase Gus Dur saat mengkonstruksikan pemikirannya, yang harus dipisahkan dari fase pasca pemikiran [pasca kebudayaan dalam istilah Syaiful Arif] di masa setelahnya.  

Dari sini, dapat diambil gambaran umum bahwa pribumisasi Islam hadir dalam konteks Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan dengan lokus kebudayaan yang mengakar dalam kesadaran masyarakat. Dan sekarang kita akan melihat bagaimana cara kerja pribumisasi Islam.

Cara kerja pribumisasi
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pribumisasi Islam bermaksud menjinakkan nafsu hegemonik yang ada dalam negara dan agama. Dengan demikian, tidak ada maksud meleburkan Islam ke dalam budaya lokal dengan menghilangkan esensi atau unsur-unsur Islam, lebih-lebih ketakutan akan terciptanya sinkretisme antara doktrin Islam dengan keyakinan setempat. Sehingga pribumisasi Islam bukanlah jawanisasi atau singkretisme, bugisisasi, melayunisasi, minangisasi dengan disertai hilangnya unsur fundamental dari Islam. Sebab, pribumisasi hanya berbentuk kerangka operasional ajaran Islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri.[4]  

Di sini telihat jelas bahwa pribumisasi Islam bekerja pada aras hukum agama, bukan pada keyakinan keislaman [aqidah]. Jika dikembalikan kepada trilogi keberagamaan muslim; keyakinan [iman], pengamalan [islam], dan penghayatan [ihsan], maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud Abdurrahman Wahid dengan gagasannya itu adalah pribumisasi [dimensi hukum] Islam, atau lebih dikenal dengan fikih. Apakah hukum agama itu memungkinkan dipahami dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal? Lantas, bagaimana caranya? Di sinilah harus kita akui akan kedalaman serta kekayaan wacana keagamaan Abdurrahman Wahid. Dalam literatur ushul fiqh, fikih diartikan dengan pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang dipahami dari dalil-dalil yang rinci.

Terdapat beberapa hal yang perlu dicatat di sini. Yakni tentang pengetahuan, hukum, dan syariat. Pengetahuan dalam konteks ini tidak dipahami sebagai pengetahuan absolut yang pasti benar. Bahkan, pada dasarnya cukup berbentuk konstruksi wacana yang diformulasikan oleh metode pemahaman tertentu yang masih bersifat asumtif [dugaan] atau dalam istilah teknisnya disebut zhanni. Hal ini berbanding terbalik dengan syariat yang diyakini sebagai kebenaran mutlak [qath’i]. Baik menurut ukuran transmisi [wurud, periwayatan, pesebaran informasi] maupun pengertian semantisnya [dalalah]. Dengan demikian, baik pengetahuan maupun metode yang dipakai sama-sama bersifat asumtif-dugaan. Karena sifatnya yang demikian, konstruksi wacana semacam ini sangat memungkinkan [halal] untuk direkonstruksi, terutama dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal.

Sedangkan hukum dalam tradisi ushul fiqh dimaknai dengan firman-firman Tuhan yang berfungsi sebagai standar perilaku manusia [khitab allah al-muta’allaq bi af’al al-mutakallifin]. Seperti yang dijelaskan Abdullah Wahhab Khalaf, firman Tuhan yang transenden tidak mungkin dipahami manusia. Karenanya, firman dalam definsi di atas dapat diartikan dengan korpus wahyu yang diterima Nabi Muhammad saw., baik yang berbentuk al-Quran maupun al-Sunnah.[5] Dengan demikian standar perilaku manusia menurut alur ini adalah al-Quran dan al-Sunnah. Di sisi lain, tidak seluruh perilaku manusia disebutkan dalam kedua ‘buku’ tersebut. Di sinilah proses penalaran aktif itu muncul yang dalam ushul fiqh disebut dengan istilah ijtihad atau istinbat. Cara berijtihad berikut hasilnya, sekalipun melalui proses yang rumit dan ketat, tetaplah merupakan kumpulan asumsi-asumsi. Dan ini sangat ditentukan oleh, meminjam Andre Lalande, la raison constituante atau aql al-mukawwin menurut istilah Arabnya.[6] Yakni potensi nalar, kultur, dan semua hal yang membentuk kaidah dan cara-cara berfikir tertentu [al-‘aql al-mukawwan]. Yang disebut terakhir ini diyakini sebagai yang melahirkan epistemologi pengetahuan.      

Dalam konteks pribumisasi Islam, Abdurrahman Wahid menawarkan beberapa metode yang di antaranya dengan pendekatan berbasis teks, dalam arti mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan perananan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqih. Dengan demikian, basis teksnya diterima disertai modifikasi dalam cara menafsirkan [al-‘aql al-mukawwan]. Persoalannya, apakah cukup dengan modal ushul fiqh? Pertanyaan lanjutannya, dari beragam aliran ushul fiqh, manakah yang dikehendaki oleh Abdurrahman Wahid?

Sebelum melanjutkan perbincangan, perlu ditilik implikasi gagasan ini. Jika gagasan ini muncul pada medio 70-80an, di tengah kultur kaum muslimin Indonesia yang sarwa-fikih berikut wajahnya yang monolitik lagi kental, maka ajakan untuk mengubah pola pikir dari kebiasaan mengkonsumsi “fikih jadi” seperti yang tersimpan dalam lipatan kitab kuning, menjadi “fikih-ushuli” yang menekankan pada penggunaan ushul fiqh sebagai basis penalaran, pastinya akan memantik perdebatan yang cukup keras. Nyatanya, justru dengan kepiawaian komunikasi, gagasan ini berhasil menjebol kebekuan berfikir di lingkungan NU. Yakni dengan ditetapkannya pola bermazhab secara metodologis [manhaji], di samping bermazhab secara praksis [qauli] sebagai acuan utama oleh Muktamar Nahdhatul Ulama pada 1992 di Lampung.[7] Namun, semangat perubahan itu rupanya tidak sampai kepada lapisan bawah, sehingga sampai saat ini hanya menjadi wacana elit. Di sini kita melihat ide jenius yang harus digilas oleh ‘kegagalan’ akibat kurang seriusnya strategi untuk membumikan.

Pada tataran ini, Abdurrahman Wahid mengajak pada penggunaan metode-metode pemahaman yang baru dalam memahami [hukum] agama. Namun, seperti disinggung sebelumnya, Abdurrahman Wahid belum menawarkan ushul fiqh seperti apa yang hendak dipakai untuk menjinakkan [hukum] agama itu. Tidak ada tawaran metodologis yang jelas terkait pengembangan aplikasi nash atau model-model pembacaan teks. Kita hanya melihat bahwa Abdurrahman Wahid sering menggunakan diktum-diktum [kaidah] fikih untuk mengkomunikasikan gagasannya. Namun tidak menggunakan pengertian yang benar-benar identik dengan apa yang tertera dalam nalar fikih klasik. Rupanya, Abdurrahman Wahid meninggalkan pekerjaan rumah bagi penerusnya.[8] Belum ditawarkannya pendekatan yang lebih tepat ini seperti diakui sendiri oleh Abdurrahman Wahid bahwa masalahnya sekarang adalah bagaimana mempercepat pengembangan pemahaman nash seperti itu dan agar berjalan lebih sistematik lagi, dengan cakupan lebih luas dan argumentasi yang lebih matang.[9]

Standar yang harus dipenuhi selain yang berbasis teks di atas adalah yang ‘mengapresiasi’ kepentingan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan pendekatan kedua yang ditawarkan Gus Dur, pendekatan sosio-kultural. Yakni memperhatikan betul konteks masyarakat yang menjadi objek hukum [ushul fiqh mahkum ‘alaih]. Konteks di sini meliputi struktur sosial, kondisi ekonomi-poitik, dan perkembangan teknologi. Yang semuanya bermuara pada pengembangan budaya dalam konteks kemasyarakatan. Tujuan ini tidak akan terealisasi tanpa menyadari problem-problem pokok masyarakat. Dengan demikian, dibutuhkan keinsafan yang mendalam, yang dapat menghindarkan diri dari usaha memaksakan agendanya sendiri. Bagi Gus Dur, kelompok politik Islam saat itu, baik yang tergabung dalam gerbong kaum modernis maupun politikus yang menggunakan kendaraan kelompok tradisional, hanya terfokus pada agenda-agenda simbolik seperti perebutan kekuasaan dan soal politik partai, dan mengabaikan fakta-fakta kemelaratan kaum muslimin sendiri. Bagi Gus Dur, ini hanyalah bentuk proses pelarian [eskapisme] dan tidak menguntungkan karena akan menimbulkan kekeringan substitusi [perubahan keadaan yang sesungguhnya]. Karenanya, sangat penting ditekankan terlebih dahulu pembicaraan tentang keadilan, demokrasi dan persamaan yang diakuinya sebagai nilai-nilai dasar. Membicarakan hal ini penting karena harus dipetakan antara nilai dasar dan kerangka operasional. Kerangka operasional pada dasarnya mengacu pada kemasalatan. Seperti dapat dipetik dari salah satu kaidah fikih, tasharruful imam alar ra’iyyah manuthun bil mashlahah [tindakan pemegang kekuasaan harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat].

Maslahat sendiri, mengacu pada apa yang dalam literatur ushul fiqh disebut dengan maqashid syariah, yang terdiri dari perlindungan terhadap lima hal pokok; jaminan atas keselamatan fisik/pribadi, keselamatan keyakinan, keselamatan hak milik, kesucian keluarga, dan keselamatan profesi. Selama dalam koridor ini, kebijakan dapat diakui masih dalam kerangka Islam. Sehingga pada dasarnya, ajaran Islam dapat diterapkan dalam segala bentuk sistem, kecuali sistem tiranik [thaghut] yang bertentangan secara mendasar dengan unsur-unsur utama weltanschaung Islam sendiri, yaitu persamaan, keadilan, dan demokrasi.

Dari uraian di atas, dapat diambil gambaran sementara tentang cara kerja pribumisasi Islam, yang melibatkan landasan tekstual, metode pembacaan, berikut kontekstualisasinya. Dengan demikian, apakah pribumisasi Islam hanya akan bekerja dalam wilayah norma formal Islam [fikih]?     

Wilayah Kerja Pribumisasi
Sepertinya akan terasa kering jika kita memahami pribumisasi dalam konteks epistemologinya tanpa melihatnya melalui kerangka ideologisnya. Pribumisasi bekerja untuk satu visi sosial tertentu. Sekalipun berangkat dari landasan tekstual, lalu berhadapan dengan pandangan [fikih] keagamaan yang kaku yang bercorak arabistik, baik yang dibawa kelompok tradisional maupun non-tradisional. Karenanya, pribumisasi berhadapan dengan ortodoksi itu sendiri.

Ketika “asing”-isasi telah merambah baik cara berfikir, kebudayaan, dan negera, maka di sanah pribumisasi juga mengarahkan wilayah kerjanya. Dalam berfikir, pribumisasi mengedepankan paradigma yang dibangun di atas kepentingan yang lokal atau mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal.

Dalam bahasa, pribumisasi bekerja untuk melawan maraknya “ana”, “antum”, “ikhwan”, dan “shalat”, dengan mengadvokasi “saya”, “anda”, “sahabat” dan “sembahyang”. Dalam politik, pribumisasi mendukung demokrasi substansial, yang mengedepankan dialog kebudayaan sebagai wahana menyelesaikan problem.

Dalam kerangka yang lebih luas Ahmad Baso mengatakan bahwa kebudayaan merupakan ruang untuk melakukan negosiasi nilai, oposisi, dan bahkan resistensi terhadap dominasi suatu baru datang. Di sini pribumisasi bekerja untuk memberikan ruang dialog bagi nilai-nilai yang [di]besar[kan], pusat, modern, dengan nilai-nilai yang [dianggap] kecil, pinggiran, dan lokal. Dapat dilihat bahwa pribumisasi dapat menjadi ruang publik, suatu wahana dialogis yang dinamis antara berbagai macam nilai dan  kepentingan.[10]      
   
Penutup
Sedikit uraian di atas mungkin belum dapat menggambarkan kerangka epistemis Gus Dur secara utuh. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan kesempatan yang luas. Dari pembacaan yang kasar, penulis mendapatkan kesan bahwa Gus Dur kurang dapat menggunakan bahasa yang tegas. Ide-ide yang dilontarkannya seperti dalam tahap penyusunan. Kejelasan dan kelengkapan metode pembacaan mungkin tidak dapat dicari dalam gagasan Gus Dur ini. Tapi, sebagai proses perkembangan sejarah, tentu apa yang difikirkan Gus Dur sangat berarti. Terutama untuk membuka cakrawala kaum santri.   

Terdapat banyak maksud Gus Dur yang belum tersampaikan saat menuliskan gagasannya. Mungkin seperti yang dikatakan Jabiri bahwa seorang pemikir seringkali menyembunyikan pikiran-pikirannya, [seperti] dengan cara menyampaikan dengan bahasa-bahasa tertentu, karena adanya tekanan-tekanan psiko-sosial. Demikian pula dengan Gus Dur. Bahasa fikih yang beliau gunakan sangat mungkin dipengaruhi oleh psiko-sosial keagamaan masanya. Mungkin untuk menghindari resistensi.

Karenanya, pendekatan yang lahir dan dikenal oleh komunitas yang dihadapinya sangat diperlukan dalam hal ini. Gus Dur membutuhkan ruang yang lebih bebas untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya secara jujur. Penggunaan ushul fiqh berikut kaidah fikih, seperti diungkapnnya sendiri, karena fikih memiliki efektifitas serta kelenturan yang memadai untuk membangun gagasan-gagasan kemodernan. Tentunya fikih yang dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan lokal. Apapun instrumennya. Sepertinya, di sinilah lahan garapan para gusdurian bukan?       


[1] Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Liberal, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 302
[2] Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Jakarta: Desantara, 2001), hlm. 119
[3] Syaiful Arif, Gus Dur Pasca Kebudayaan, ngakses nek grup pesbuk gusdurian...
[4] Abdurrahman Wahid, Pergulatan… hlm. 119
[5] Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh al-Islami,  hlm.
[6] Mohamed Abid al-Jabri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hlm. 15
[7] Lihat dalam Ahkamul Fukaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Kumpulan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdhatul Ulama, disunting oleh Imam Ghazali Said, (Surabaya: LTN NU bekerjasama dengan Diantama), hlm. 470  
[8] Pasca Abdurrahman Wahid, banyak orang begitu mengapresiasi dan menerima model pembacaan baru terhadap teks keagamaan. Pada waktu yang sama, masyarakat di lingkungan akademis mulai melirik model-model pembacaan yang berkembang di Barat, seperti Hermenetik, Semiotik, tradisi Post-modern, Gender, HAM, Multikultural, dan beragam perspektif lainnya. Tema Pribumisasi Islam mendapatkan penafsirannya yang tajam dari Ahmad Baso Plesetan Lokalitas: politik pribumisasi Islam.   
[9] Abdurrahman Wahid, Pergulatan…., hlm. 124
[10] Ahmad Baso, Plesetan Kebudayaan: Politik Pribumisasi Islam, (Jakarta: Desantara, 2002), hlm. 25 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar