Rabu, 18 Januari 2012

Allah Mendengar Gugatan Perempuan “Tafsir Naratif surat al-Mujadalah”

M. Khoirul Huda

Seorang perempuan paruh baya menemui Nabi. Ia mengadukan suaminya yang dengan emosional mengucapkan sumpah Zihar. Cara sumpah orang Arab yang tidak ingin bergaul dengan istrinya lagi, dengan menyamakan sang istri dengan ibunya. Sebuah kilah dengan legitimasi tradisi. 

Suaminya sudah bosan padanya. Ia sudah tua. Tidak secantik masa mudanya dulu. Sama sekali tidak menarik. Namun ia masih sebagai istri, walaupun tidak sepenuhnya. Karena suaminya enggan menggaulinya. Keengganan itu dikukuhkan dengan sumpah. Legalitas tertinggi bagi setiap tindakan yang tidak mungkin disalahi dan dilanggar oleh orang Arab yang memiliki harga diri yang begitu tinggi. Hubungan dirinya dan suaminya itu menjadi ikatan aneh. Tidak jelas. Istri bukan,  ibu juga bukan. 


Tulang-tulang perempuan itu pun sepertinya sudah tidak terlalu kuat dipakai bekerja, jika memang suatu saat nanti dia harus bekerja karena suaminya tidak lagi menafkahi pasca cerai. Dan tidak mungkin ada laki-laki yang mau menikahinya. Dia sudah tua. Keriput. Keadaan yang sulit. Suaminya meluapkan emosianya dengan sumpah Zihar itu. Habis manis sepah dibuang.

Nabi bingung harus menjawab bagaimana. Perempuan itu terus menuntut. Ia ingin suaminya kembali halal baginya. Ia ingin Allah tetap mempertahankan ikatan mereka. Dengan mengabrogasi tradisi sumpah Arab yang diskrimantif itu mungkin? Atau memberikan solusi agar sumpah itu dapat dibatalkan. Sumpah itu sangat menyakitkan baginya. Saat usianya sudah tidak lagi muda, suaminya tega dengan sengaja, dengan kekuatan tradisinya, menelantarkan dirinya. 

Namun wahyu tidak segera memberikan jawabnya. Beberapa waktu kemudian pesan Tuhan datang. Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.

Benar. Tuhan mengabulkan keinginan Khaulah, nama perempuan itu. Anak perempuan Tsa’labah itu bahagia mendengarnya. Allah juga mengutuk tindakan sewenang-wenang itu. Zihar dilaknat Allah. Memang, dia adalah seorang istri. Bukan ibu dari suaminya yang haram disetubuhi. Perkataan bohong, jika seorang laki-laki menyamakan istrinya dengan ibunya yang haram itu. Laki-laki yang hanya ingin menghindar dari tanggung jawab. Dan mau mengambil enaknya saja. Selain melaknat, Allah membebankan kepada pelaku Zihar penebusan dengan memerdekakan seorang budak. Seperti sangsi bagi palanggaran sumpah (atau aturan) tingkat berat lainnya. Laknat dan sangsi berupa pembebasan budak memang sangsi tingkat berat. Apakah ini cukup?

Tidak. Bukan soal cukup tidaknya. Perempuan itu tahu betul kondisi suaminya yang selama ini hidup bersamanya. Suaminya tidak akan mampu. Suaminya miskin. Ia begitu kasihan pada suaminya. Selain karena memang tidak mampu. Ia meminta Nabi memberi keringanan. Nabi bingung. Kemudian turun pesan Tuhan, Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Nabi mengabarkan itu kepada Khaulah yang sedang sedih menunggu kepastian hukum. Namun, lagi-lagi sangsi itu masih cukup berat. Dia tahu suaminya masih memiliki hasrat tinggi terhadap perempuan. Toh, dia sudah tua. Mana kuat (puasa). Suaminya malah berkata, “Makan sehari tiga kali saja membuat mataku kabur. Apalagi jika aku harus berpuasa selama itu.” Khaulah kasihan. Ia minta keringanan. Nabi menunggu wahyu. Beberapa waktu kemudian wahyu itu datang. Maka siapa yang tidak kuasa (melakukan puasa, wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.

Keluarga sulit. Sudah miskin, tua, dan banyak tingkah lagi. Namun rahmat Allah tiada tara. Rasulullah maklum. “Baiklah Khaulah, pergi dan temui seorang perempuan Anshar, kemarin dia berniat sedekah kepadaku. Ambilah itu. Dan gunakan untuk membayar kafarat (denda melanggar sumpah) suamimu, demikian kata Nabi.

Meskipun Aus bin al-Shamit, orang Anshar, suami Khaulah binti Tsa’labah yang juga sepupunya sendiri itu telah melakukan penganiayaan (tepatnya kekerasan) psikologis terhadap istrinya, dan sangsi-sangsi berat telah diberikan, namun Allah dan Rasulullah tidak memutuskan rasa kasihnya. Permakluman diberikan. Karena keduanya ingin tetap menyatu. Suaminya ingin kembali. Memenuhi harapan istrinya. Namun yang tidak boleh dilalaikan, lebih-lebih secara sengaja, perempuan sebagai istri memiliki hak-hak untuk tidak disakiti. Secara psikologis saja tidak boleh, apalagi secara fisik. Semangat ini yang patut dipahami dan diamalkan. Semoga tindak kekerasan kepada para ibu semakin hari semakin berkurang. Semoga para suami yang bebal hatinya segera diberi kesadaran. Dan, untuk para ibu, selamat hari ibu. Semoga kau selalu dihargai. Namun jangan menjatuhkan harga dirimu sendiri. Ingatlah saudari-saudarimu yang dengan tulus memperjuangkan hak dan harga dirimu. Semoga Tuhan memberikan pertolongan.          

 Ciputat, 21 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar