Rabu, 18 Januari 2012

Hadis Talqin; Sebuah Telaah Tekstual-Redaksional

Muhammad Khoirul Huda*

Prolog
Sejarah panjang tradisi intelektual di lingkungan umat Islam telah menyuguhkan kekayaan pengetahuan tiada tara. Dan bila kita lihat sepintas lalu, awalnya adalah usaha-usaha memahami pesan-pesan Tuhan yang tertuang dalam sumber-sumber otoritatif muslim; Quran dan Sunah.

Tata bahasa, sastra, moral, hukum, teori hukum, teologi, filsafat, politik, sejarah, hingga sosial dan kealaman seringkali dikaitkan dengan Realitas Tertinggi sumber inspirasi spiritual Islam. Ini menjadi ciri khas pengetahuan arus utama di masa lalu; dan sepertinya demikian pula saat ini.


Seperti dapat kita lihat dalam tata bahasa Arab, di mana kemunculannya seringkali dikaitkan dengan menurunnya cita rasa ideal bahasa yang mengancam orisinalitas kebudayaan Arab yang menjadi paradigma yang cukup efektif dalam memahami ajaran agama di satu sisi, dan penjagaan sumber-sumber agama di sisi lain. Terutama al-Quran. Ini meniscayakan diadakannya usaha-usaha ‘pengamanan’ terhadap bahasa Arab, sebagai bagian dari kebudayaan Arab secara keseluruhan. Hal ini pula yang mendorong perumusan kaidah-kaidah kebahasaan menjadi begitu penting.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba berselancar mengarungi bagian tersempit dari luasnya samudra ilmu bahasa, untuk selanjutnya akan penulis pakai membaca teks hadis talqin mayit. Tema yang kurang sempurna dari segi analisa teks, walaupun kaya referensi.

Fungsi Bahasa
Bahasa memiliki banyak fungsi. Awalnya, bahasa berguna sebagai piranti komunikasi. Selanjutnya bahasa menjadi simbol-simbol bagi hal yang kompleks dalam hubungan antar manusia. Bahasa tersusun dari lafal dan makna. Lafal ada yang sederhana dan ada yang komplek. Yang sederhana disebut Lafazh (Kata) dan yang komplek disebut Kalam (Kalimat).

Makna memiliki ragam yang tidak sedikit. Kadangkala, satu kata memiliki satu makna, kadang lebih. Sering juga dijumpai beragam kata yang memiliki makna yang sama. Ini disebut Muradif. Kata bermakna ganda (dua atau lebih) secara teknis disebut Musytarak. Kata yang memiliki penunjukan makna tanpa batasan kualitas disebut Muthlaq. Sedang yang tidak memiliki batasan kuantitas dinamakan Mujmal. Demikian beragam pemetaan makna-makna kata. Sehingga identifikasi jenis kata membutuhkan kejelian dan data pendukung (referensi) yang kaya.          

Jika makna adalah sesuatu yang diletakkan pada lafal, maka dari segi asal peletakannya itu, makna dipilah menjadi makna pertama dan makna kedua. Makna pertama ini sering disebut Haqîqat, dan Majâz untuk makna kedua.

Relasi Lafal dan Makna
Hubungan antara lafal dan makna seperti kaitan jasad dan ruh. Di mana lafal-lafal yang tak bermakna tidak lebih dari sekumpulan bunyi (atau garis-garis tak beraturan dalam konteks tulisan). Sama dengan jasad yang tak bernyawa tidak lebih dari kumpulan daging berserat dan tulang-tulang yang kita sebut bangkai. Tidak bernilai apa-apa. Makna tanpa kata hanya akan menjadi ide-ide kosong yang tidak bisa dipahami dan diakui keberadaannya. Mirip dengan ruh tanpa jasad yang tidak berdaya terkungkung dalam ruang kosong. Jika ruh menjadikan jasad bernilai, demikian pula makna. Ia membuat bunyi (atau tulisan) memiliki nilai dan diakui eksistensinya.

Kata adalah simbol bagi makna-makna. Sehingga dengan menangkap ‘kata’ kita dapat memahami makna. Simbol berfungsi menunjukkan pada inti pesan atau maksud. Kata sebagai simbol dan penghantar kepada makna harus dapat ditangkap indera sebelum akhirnya dipahami. Lantas bagaimana sebuah simbol dapat dipahami oleh kesadaran manusia? Mengapa kata dapat memiliki makna? Apakah manusia sendiri yang memberi dan meletakkan makna-makna pada lafal itu? Jika jawabannya positif, manusia itu individu atau bersama dalam kelompok (kesepakatan bersama untuk menerima sebuah simbol bagi suatu makna tertentu)? Atau bukan manusia? Lalu apa? Lafal itu sendiri kah yang menciptakan arti dalam dirinya? Atau semua itu adalah hasil kerja Tuhan? Ini untuk menjelaskan relasi kata sebagai simbol di satu sisi, dan makna di sisi yang lain.

Para ulama di masa lalu telah mengkaji hal ini. Muncul dua aliran besar. Aliran pertama, yang dimotori Abu al-Hasan al-Asy’ari, mengatakan bahwa keberadaan makna pada suatu lafal adalah ketetapan Tuhan (Tauqîfî). Ini berdasar pada ayat Wa ‘Allama Al-Âdam Al-Asmâ’ Kullahâ (Dan Allah mengajarkan seluruh nama-nama kepada Adam). Nama adalah kata. Kata adalah bagian dari bahasa. Bahasa adalah simbol. Bahasa tersusun dari lafal dan makna. Di balik simbol ada yang disimboli. Jadi sejak pertama kali ada, lafal selalu disertai makna. Yang menyertakan itu adalah Allah. Lalu mengapa ada begitu banyak bahasa di dunia ini? Apakah Allah mengajarkan seluruh bahasa yang beraneka ragam itu kepada Adam? Tidak. Setelah keturunan Adam berkembang biak di muka bumi, di mana mereka tidak dapat hidup dengan baik tanpa petunjuk dan ilmu, Allah menurunkan para nabi. Selain mengajarkan keesaan Allah, para nabi juga mengajarkan bahasa, juga beragam ilmu pengetahuan (dari teori ini dapat kita pahami, bahwa peradaban kuno yang pernah ada dibangun berdasarkan petunjuk wahyu dan mematahkan pernyataan sebagian orang yang mengatakan semua kemajuan hanya dapat diperoleh dengan nalar dan dengan mengeyampingkan wahyu di sisi lain).

Aliran kedua, yang banyak didukung ulama-ulama Muktazilah, berpendapat bahwa bahasa tercipta karena proses konvensi di lingkungan manusia. Sebuah simbol, lampu merah misal, dapat memiliki arti keharusan berhenti, dan semua orang banyak tahu itu baik karena diajarkan atau kebiasaan yang berlaku, adalah hasil pemaknaan bersama. Kelompok ini tidak membedakan apakah tadinya yang meletakkan makna itu satu orang tertentu atau sekelompok orang. Pendapat ini memperoleh pembenaran dari ayat, Wa Mâ Arsalnâ Min Rasûl Illa Bilisâni Qaumihi (Dan kami tidak mengutus seorang rasul melainkan dengan bahasa kaumnya). Ayat ini menunjukkan bahwa sebelum kedatangan para nabi, bahasa telah ada dan digunakan dalam masyarakat seorang nabi. Teori terakhir mendapat dukungan dari pakar bahasa kontemporer. Walaupun tidak sepenuhnya benar.  

Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa asal muasal makna dalam kata masih menjadi misteri. Perdebatan dilanjutkan kepada apakah kita diperbolehkan menggunakan sebuah kata dengan makna yang kita kehendaki? Dengan mengabaikan penggunaannya di masyarakat umum. Ini berkaitan dengan produksi istilah dan peletakan sebuah makna pada lafal yang pada awalnya tidak pernah diletaki makna tersebut, seperti dalam kasus Majâz dengan menggunakan suatu indikator. Apakah ada yang disebut Majâz dalam bahasa?

Musytarak, Haqîqat, dan Majâz; Ide Satu Kata Banyak Makna  
Apakah sebuah kata dapat memiliki lebih dari satu makna? Para ulama mengakui adanya fenomena ini. Contoh kata Al-Hidâyat. Tidak hanya berarti petunjuk. Tapi juga dapat berarti penjelasan, tuntunan, taufik (pertolongan Tuhan), dan ilham. Orang-orang Arab, juga al-Quran menggunakan kata al-Hidâyat untuk makna-makna yang berbeda-beda. Contoh lain adalah kata “Al-Qur`u” dan “al-‘Ain”. Demikian pula kata al-Asad (Singa). Kadang digunakan menyebut salah satu hewan buas, kadang untuk menunjuk seorang atau kelompok orang yang memiliki karakteristik sama dengan hewan itu. Singa Padang Pasir, Singa Podium, Singa Edan. Di sinilah persoalannya. Bagaimana menjelaskannya? Kapan sebuah kata bermakna ini, dan kapan bermakna itu. Bagaimana kaitan antara satu makna dengan makna lainnya. Dapatkah satu makna menggantikan makna yang lain walaupun bertentangan, atau minimal tidak dikehendaki pengucapnya?

Makna-makna yang diletakkan pada satu kata, sehingga menjadi makna asal bagi kata tersebut dan secara bersama-sama (bersekutu) berhak dipahami sebagai bagian dari kata tersebut saat diucapkan, oleh para ulama dikategorikan dan dinamakan Musytarak. Kriteria makna asal adalah penggunaan yang berlaku di masyarakat Arab. Hal ini seperti pada kata al-Hidâyat dan al-Qur`. Seluruh makna yang ada tersebut termasuk Haqîqat. Yakni makna awal yang diletakkan dan digunakan sebagai dilâlat suatu lafal.

Ketika suatu makna dipakai karena adanya suatu alasan yang mengaitkan dengan makna awal, makna tersebut dikenal sebagai makna Majâz. Pengait yang menghubungkan dengan makna awal dianggap sangat penting. Tanpanya suatu pernyataan dapat diklaim salah dan bohong. Bila dikatakan,
يَجْعَلُوْنَ أَصَابِعَهُمْ فِيْ أَذَانِهِمْ
“Mereka menyumpalkan ‘tangan-tangan’ mereka ke kuping-kuping mereka.”

Makna awal kata “Ashâbi’” adalah seluruh bagian tangan yang mulai dari pergelangan hingga ujung jari. Persoalannya, bagaimana mungkin mereka (orang-orang kafir) dapat memasukkan seluruh bagian tangannya ke dalam telinga? Apakah telinga mereka cukup besar? Bila ditanyakan ulang, apakah perkataan al-Quran itu bohong? Tidak masuk akal. Tidak. Karena makna dari “Ashâbi’ahum” bukan “tangan-tangan”, tapi “Jari-jari mereka”. Jadi maksudnya, mereka menyumpalkan jari-jari mereka ke kuping-kuping mereka. Perpindahan dari digunakannya makna pertama kepada makna kedua dilandasi oleh suatu pengait (biasa disebut ‘Alâqat). Pengait tersebut adalah ketidakmungkinan makna pertama. Atau bisa jadi ini merupakan bagian dari kaidah mengucapkan keseluruhan namun menghendaki yang partikular. Jika demikian, ‘Alâqat –nya adalah keberadaan keseluruhan itu sendiri. Ashabi’ tidak populer untuk menunjuk makna jari. Karena itu, penunjukkan makna jari merupakan pelampauan dari makna asalnya. Ia melampaui, dalam bahasa Arab disebut Majâz, maknanya yang pertama.

Contoh lain adalah,
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَّيِّتُونَ
“Sesungguhnya kau (akan) mati dan mereka juga (akan) mati.”

Ayat ini turun saat Nabi masih hidup. Kata “Mayyit” digunakan untuk seorang yang masih hidup. Apakah ini sebuah kebohongan?  Alasan inilah yang mendorong Daud al-Zahiri, seorang murid Imam al-Syafi’I menolak konsep Majâz dalam al-Quran. Membenarkan Majâz adalah mengakui kebohongan. Namun tidak demikian dengan kebanyakan ulama. Kata-kata semacam itu tidak bisa disebut bohong. Karena yang dimaksudkan bukan sesuai arti literalnya. Jika arti literal redaksi mayyit adalah man qâma ‘alaihi al-maut, orang yang memiliki sifat mati, sama dengan al-`im yang berarti orang yang memiliki sifat berdiri. Maka dalam konteks ayat di atas, yang dimaksud adalah orang yang “akan” memiliki sifat mati. Artinya, jika makna literal ayat di atas menunjukkan ke-sekarang-an, makna keduanya adalah ke-akan-an. Dari zaman sekarang ke zaman yang akan datang. Dari Hâl ke Mustaqbal. Dalam hal ini terdapat perpindahan makna. Makna pertama dilampaui dan ditinggalkan untuk dialihkan ke makna kedua. Dalam bahasa Arab, pelampauan itu disebut Majâz.   

Namun ada yang janggal. Bagaimana sebuah Isim (kata benda atau sifat) dapat sangat terikat dengan waktu? Jika kita katakan zaman Hâl sebagai makna awal Isim Fâ’il, yang artinya ia adalah makna Haqîqat dan zaman Mustaqbal sebagai makna keduanya, makna Majâz-nya, maka dapat disimpulkan bahwa Isim juga berzaman. Ini bertentangan dengan kaidah umum tentang Isim yang mendefinisikannya sebagai kata yang dapat menunjukkan makna dengan sendirinya tanpa disertai keterangan zaman.     

Isim Fâ’il, demikian pula Isim sifat lainnya, memiliki kekhasan yang tidak dimiliki bentuk-bentuk Isim lain. Di mana, ia tidak dianggap Isim murni. Ia memiliki kemiripan dengan Fi’il (kata kerja), terutama Fi’il Mudhâri’ (kata kerja yang menunjuk sekarang dan akan datang). Terdapat tiga argumentasi untuk mengukuhkan pernyataan ini; lafal, makna, dan amal (pengaruh). Di lingkungan ulama Nahwu aliran Bashrah, lafal Isim Fâ’il dianggap terbentuk dari Fi’il Mudhâri’. Ini dibuktikan dengan jumlah huruf dan struktur fonetik kata yang mirip. Isim Fâ’il dan Fi’il Mudhâri’ yang berasal dari tiga huruf (Tsulâtsi), sama-sama terdiri dari empat huruf dengan satu tambahan. Sedangkan yang berasal dari empat huruf dan seterusnya, tambahan huruf selalu sama dalam keduanya. Segi fonetik, bunyi atau mati-hidupnya huruf, juga sama. Huruf kedua adalah mati dalam keluarga Tsulâtsi.

Karena dianggap diderivasikan dari Fi’il Mudhâri, Isim Fâ’il memiliki unsur-unsur Fi’il dan mempertahankannya dalam bentuk barunya. Unsur-unsur maknawi yang dianggap dipertahankan yaitu; Hadats (unsur pekerjaan) dan Zamân (waktu) sebagai keniscayaan sebuah pekerjaan. Keberadaan Hadats inilah yang membuat Isim Fâ’il, juga Isim Sifat lainnya, disebut al-Asmâ` al-Musyabbihat (bi al-Af’âl). Sebagai keniscayaan, karena tidak mungkin pekerjaan dilakukan di luar konteks waktu, Isim Fâ’il juga mempertahankan unsur Zamân. Lebih tepatnya Zamân Hâl dan Mustaqbal. Ketika kedua unsur tersebut ditemukan dalam Isim Fâ’il, maka ia dapat berfungsi seperti bentuk Fi’il-nya sebelum bermetamorfosa menjadi Isim; memberikan dampak fonetik bagi lafal setelahnya yang menjadi subyek (Fâ’il) atau obyek (Maf’ûl). Salah satu saja hilang unsur itu, Isim Fâ’il tidak dapat beramal. Seperti ketika unsur Zamân-nya berubah menjadi lampau (Mâdhi). Isim Fâ’il  yang ber-Zamân lampau tidak dapat beramal seperti ketika ia ber-Zamân Hâl atau Istiqbâl. Inilah tiga argumen kedekatan Isim Fâ’il dengan Fi’il, secara khusus Fi’il Mudhâri’.  Hal ini pula yang menjadikan Isim Fâ’il berbeda dari kebanyakan Isim lainnya. Di mana Isim Fâ’il memiliki Zamân. Bukan hanya Hâl atau Mustaqbal, tapi juga Zamân Mâdhi. Isim Fâ’il punya tiga Zamân. Dengan demikian, apakah perpindahan Zamân pada Isim Fâ’il merupakan bentuk perpindahan makna pertama kepada makna kedua dalam pengertian perpindahan dari Haqîqat ke Majâz, atau justru dari makna awal yang satu kepada makna awal yang kedua dan ketiga dengan pengertian lafal Isim Fâ’il adalah lafal Musytarak (bersekutu beberapa makna di dalamnya, dalam konteks ini makna Zamân). Di sini sepertinya pakar Nahwu berbeda pendapat dengan pakar Ushul Fikih. Pakar Nahwu melihat Isim Fâ’il sebagai lafal Musytarak, di mana di dalamnya bersekutu tiga Zamân secara bersama-sama. Ini berbeda dengan pakar Ushul Fikih yang menganggap keberadaan Zamân Hâl, sebagai Zamân original yang dimiliki Isim Fâ’il. Sedang Zamân yang lain hanyalah komplementer bagi yang lain.

Dari sini saja, dapat dilihat betapa problem makna cukup komplek. Antara keberadaan Isim Fâ’il sebagai lafal Musytarak atau HaqîqatMajâz. Namun, pendekatan manapun  yang hendak dipakai, masing-masing meniscayakan semacam indikator yang dapat menentukan dan memastikan makna mana yang sebenarnya dikehendaki dari sebuah teks. Kasus Qur`u menunjukkan bahwa indikator itu dapat ditemukan di luar teks. Yakni penggunaan kata tersebut untuk satu makna tertentu (Haidh atau Thuhr). Berbeda dengan konsep Majâz yang indikatornya dapat ditemukan dalam teks itu sendiri. Indikator dalam Majâz disebut ‘Alâqat (pengait, penghubung). Seperti diinventarisir Ahmad al-Hasyimi, dalam studi sastra Arab (Balâghat) terdapat delapan belas macam ‘Alâqat untuk kategori Majâz Mufrad (majaz kata, sebagai bandingan majaz kalimat); (1) ‘Alâqat Sababiyyat, (2) Musabbabiyyat, (3) Kulliyyat, (4) Juz`iyyat, (5) Lâzimiyyat, (6) Malzûmiyyat, (7) Âliyyat, (8) Taqyîd, (9) ‘Umûm, (10) Khusûsh, (11) I’tibâr Kâna, (12) I’tibâr Mâ Yakûn,(13) Hâliyyat, (14) Mahalliyyat,(15) Badaliyyat,(16) Mubdaliyyat,(17) Mujâwarat,(18) Ta’alluq Isytiqâqi.

Alâqat nomor 3, 4, 8, 9, 10, 11, 12, 18 merupakan indikator yang bersumber dari dalam teks. Selebihnya adalah unsur ekstern (luar). Jika kita menggunakan pendekatan Majâz untuk membaca redaksi Mayyit pada ayat di atas, maka ‘Alâqat yang dipakai adalah I’tibâr Mâ Yakûn (menilai apa yang akan terwujud). Kematian akan terwujud dalam diri Nabi dan orang-orang musyrik. Walaupun untuk saat ini mereka masih belum mati. Demikian makna sederhananya.

Hadis Talqin; Musytarak atau Haqîqat-Majâz?
Nabi pernah mengatakan,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّه
“Ajarkanlah orang-orang (yang hendak) mati di antara kalian kalimat Lâ Ilâha Illa Allâh.”

Tidak ada keterangan lengkap terkait hadis di atas, dalam kontek apa dan kepada siapa sabda itu ditujukan. Di sini sebenarnya problem pemaknaan itu muncul. Seringkali perdebatan yang terjadi adalah perdebatan dalam memahami teks. Satu teks ditarik ngalor-ngidul. Seringkali pula, keberagamaan didasarkan pada potongan lafal. Pemahaman keagamaan yang didasarkan pada potongan itu akhirnya menjadi area debat kusir berkepanjangan. Padahal, jika diperhatikan betul, lafal memang menyediakan unsur-unsur yang menjadi basis bagi beragam pemahaman. Dan memang seperti itulah cara kita beragama. Memahami pesan Tuhan melalui teks. Sumber yang paling punya otoritas. Dan seharusnya, jika itu didasarkan pada pemahaman terhadap teks dapat dihormati.

Ada beragam redaksi yang mirip dengan hadis di atas. Hanya saja, perbedaan terletak pada tambahan. Jika di atas disebut kalimat Lâ Ilâha Illa Allâh, dalam redaksi lain agak lebih panjang. Sebagian riwayat menuturkan keutamaan.

Seperti di singgung dalam pembahasan tentang lafal Mayyit pada ayat al-Quran di atas,  pembacaan redaksional dapat kita pakai di sini. Perdebatan dimulai pada redaksi “Mautâkum”. Mautâ adalah jamak dari lafal Mayyit. Mayyit sendiri adalah Isim Fâ’il yang mengikuti wazan Fai’il (فيعل). Mayyit diambil dari Fi’il Mâta-Yamût. Dengan Fi’il Madhi yang mengikuti wazan Fa’ila. Terdapat dua Isim Sifat dari kata Mâta, Mayyit مَيِّت) ( dan Mait (مَيْت). Menurut sebagian pakar bahasa, bentuk Mait menunjuk pada orang yang telah mati. Sedangkan Mayyit atau `it untuk orang yang belum mati. Menurut al-Jauhari, mengutip al-Farra’, orang yang belum mati jarang sekali disebut `it atau Mayyit. Sedangkan menurut Ibnu Manzhur, dalam magnum opus-nya dalam bidang leksikografi, pemilahan ini adalah sebuah kesalahan. Mayyit dapat dipakai untuk menunjuk orang yang akan mati atau sudah mati. Sebagai argumen, Ibnu Manzhur mengajukan ayat Innaka Mayyit Wa Innahum Mayyitûn. Dalam ayat ini, Allah menggunakan redaksi Mayyit untuk orang yang masih hidup. Hal ini menunjukkan bahwa Mayyit tidak hanya untuk orang yang sudah mati. Dengan demikian, menurut Ibnu Manzhur, penunjukan Mayyit kepada makna orang yang belum mati, adalah hakikat.  

Argumen lain, ditemukan dalam syair Adi bin al-Ra’la`, seorang penyair jahili, penggunaan Mayyit untuk orang yang sudah mati sekaligus bagi yang belum mati. Ia berkata,
ليس مَن مات فاسْتراحَ بمَيْتٍ# إِنما المَيْتُ مَيِّتُ الأَحْياءِ
إِنما المَيْتُ مَن يَعِيشُ شَقِيّاً# كاسِفاً بالُه قليلَ الرَّجاءِ
Orang yang telah mati lalu beristirahat tidak pantas disebut mati
Kematian sejati adalah kematian orang yang masih hidup
Orang yang telah mati ialah yang hidup susah
Merana hatinya, yang sedikit harapannya

Adi bin al-Ra’la` menggunakan Mait setara dengan Mayyit. Sama-sama untuk orang hidup (lihat Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, 2/90). Bentuk plural dari Mayyit atau Mait adalah Mauta, Amwât, mayyitûn, dan Maitûn. Dari sini, jika Ibnu Manzhur memahami makna orang yang masih hidup sebagai makna hakiki dari kata Mayyit, di samping makna orang yang sudah mati, maka dapat disimpulkan bahwa kata Mayyit adalah Musytarak. Satu kata yang memiliki banyak makna.  Jika menggunakan pendekatan Bayani, seperti di atas, Mayyit bermakna Hakikat jika menunjukkan makna orang yang telah mati, dan bermakna Majaz untuk orang yang belum mati. 

Penutup  
Analisa tekstual di atas menunjukkan kepada kita bahwa memang keberagamaan kita sering didasarkan kepada potongan teks. Sedangkan keberadaan teks-teks yang lain, seringkali menjadi argumen penguat dari asumsi pertama yang dibangun oleh teks awal. Internal teks sendiri telah memberikan ruang bagi kemungkinan-kemungkinan yang beragam. Dengan demikian, kepastian makna tidak dapat dicari dari dalam satu teks saja. Pemberi kepastian harus melibatkan unsur eksternal di luar teks. Namun, lagi-lagi apakah hal itu dapat secara pasti membatasi kemungkinan-kemungkinan redaksional sebuah teks?      
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar