Rabu, 18 Januari 2012

MONYET PUN DIRAJAM; Studi Banding atas Ketegasan Pemerintah

Muhammad Khoirul Huda* 

Suatu ketika, Amr bin Maimun, seorang sahabat Nabi, berada di tengah gerombolan kambing gembalaan milik keluarganya di Yaman. Dia berada di sebuah tempat yang agak tinggi. Tiba-tiba seekor kera jantan datang bersama betinanya. Kemudian kera jantan itu tidur dengan menjadikan tangan kera betina sebagai bantalnya. Lalu datang seekor kera jantan lain yang berukuran tubuh sedikit lebih kecil (muda) dari kera jantan pertama. Kera kecil itu memancing perhatian kera betina. Kera betina itu melepaskan tangannya secara pelan-pelan, kemudian pergi mengikuti kera muda. Kera muda itu menyetubuhi sang kera betina. Setelah itu kera betina kembali, dan mengalaskan tangannya. Kera jantan bangun dan mencium adanya aroma asing di tubuh pasangannya. Ia berteriak. Teriakan itu menarik perhatian kera-kera lainnya. Kera-kera itu saling berteriak, menyebar ke kanan dan kiri. Mereka mencari si kera muda. Akhirnya mereka berhasil menangkap kera muda itu. Keduanya tertangkap basah berselingkuh. 
Mereka membuat lubang untuk kedua kera yang berselingkuh. Mereka merajam sepasang kera itu. Amr bin Maimun takjub. Terheran-heran. Baru kali ini ia melihat bahwa ternyata praktik rajam tidak hanya berlaku di kalangan manusia. Di sini, hukum ditegakkan, dengan ketegasan tentunya.

Kisah di atas disebutkan dalam al-Jâmi’ al-Shahîh karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari. Pembesar muhaddits yang karyanya diakui sebagai kitab yang paling shahih setelah al-Quran. Sebagian orang menyoal otentisitas hadis ini, karena dari beberapa manuskrip al-Jâmi’ al-Shahîh hanya satu yang mencantumkan riwayat ini. Ditambah keberadaan praktik zina serta sangsinya di lingkungan kera, yang tidak masuk akal, karena pada dasarnya, hukum hanya diperuntukkan bagi makhluk yang berkesadaran; jin dan manusia. Andaikan benar ada praktik zina dan sangsinya di kalangan kera, satu-satunya interpretasi yang dapat ditawarkan adalah mereka bukan kera sebenarnya. Tapi mereka adalah jin yang merupa dalam bentuk kera. Sebagian orang berpandangan bahwa mereka adalah keturunan manusia-manusia yang dikutuk menjadi kera oleh Tuhan. Dan hukum yang pernah Tuhan syariatkan kepada mereka, saat masih jadi manusia, tetap mereka berlakukan. Lagi-lagi, hal ini adalah soal ketegasan, lebih jelasnya, dalam konteks para monyet tadi, ketegasan dalam menegakkan hukum. Kita bisa belajar dari ketegasan para monyet, yang mantan manusia itu.
Setahun sudah pemerintahan yang digawangi gerbong baru dengan kapala lama berjalan. Satu hal yang seringkali dijadikan sasaran kritik adalah ketidaktegasan dalam mengambil sikap terhadap persoalan bangsa. Hanya satu ketegasan yang selama ini dicatat oleh publik. Yakni pembatalan kunjungan ke Belanda, yang atas undangan Ratu Beatrix itu. Dari sekian catatan ketegasan yang ada, hanya ketegasan itulah yang dianggap publik sebagai ketegasan yang melindungi kehormatan dan harga diri bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain. Belanda tidak menghargai kedaulatan Indonesia, saat pengadilan negeri mereka menggelar sidang atas tuntutan aktivis Republik Maluku Selatan. Juga pengadilan atas Wilders, sang sutradara film pendek Fitna yang menyakiti hati umat Islam; penduduk mayoritas di Indonesia. Ini mungkin spekulasi media, tapi sangat penting karena telah berhasil mendorong timbulnya simpati publik atas ketegasan pemerintah. Andai ketegasan itu juga diwujudkan dalam beberapa kasus lainnya, seperti saat berhadapan dengan Malaysia, baik soal perbatasan atau TKI, semestinya kita patut berbangga. Namun, nyatanya hanya satu kasus saja.
Kembali kepada monyet-monyet tadi, sepertinya pemerintah kita kalah dengan mereka. Dan perlu banyak belajar kepada (bukan ‘dari’) mereka. Aksi yang dilakukan sebagian kawan-kawan mahasiswa tempo hari, baik untuk mendukung atau mengkritik, dalam memperingati satu tahun kerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, sangat penulis hargai. Ketika diajak turut serta dalam aksi tersebut, dalam barisan pendukung, penulis menolak. Karena, sekalipun pemerintah mencapai prestasi dalam beberapa hal yang patut dihargai, namun soal ketegasan kosong. Kita malu saat berhadapan dengan orang Malaysia, dan mereka mengatakan, “Dari Indon ya?” dengan nada merendahkan. Sepertinya kita tidak lebih terhormat daripada mereka. Karena itu, ke depan, penulis berharap, “Mbok yo seng rada teges to Pak? Mosok kalah karo kethek?”
Jika pada tahun sebelumnya, sebagian demonstran membawa kerbau sebagai simbol kelambanan dan ketidaktegasan, untungnya pada aksi kemarin tidak ada yang membawa keong, atau malah monyet? Karena, menyamakan dan penyamaan perilaku manusia dengan hewan adalah serendah-rendahnya  penghinaan. Bukankah begitu Pak Presiden?     

(Essai ini ditulis sebagai bahan diskusi pada Forum Mahasiswa Tafsir-Hadis [FORMATH] Fakultas Usuludin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimuat dalam Majalah Misykat PP. Lirboyo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar