M. Khoirul Huda
Seorang perempuan paruh baya menemui
Nabi. Ia mengadukan suaminya yang dengan emosional mengucapkan sumpah Zihar.
Cara sumpah orang Arab yang tidak ingin bergaul dengan istrinya lagi, dengan
menyamakan sang istri dengan ibunya. Sebuah kilah dengan legitimasi tradisi.
Suaminya sudah bosan padanya. Ia sudah tua. Tidak secantik masa
mudanya dulu. Sama sekali tidak menarik.
Namun ia masih sebagai istri, walaupun tidak sepenuhnya. Karena suaminya enggan menggaulinya. Keengganan
itu dikukuhkan dengan sumpah. Legalitas tertinggi bagi setiap tindakan yang
tidak mungkin disalahi dan dilanggar oleh orang Arab yang memiliki harga diri
yang begitu tinggi. Hubungan dirinya dan suaminya itu menjadi ikatan aneh. Tidak jelas. Istri
bukan, ibu juga bukan.
Tulang-tulang perempuan itu pun sepertinya
sudah tidak terlalu kuat dipakai bekerja, jika memang suatu saat nanti dia harus
bekerja karena suaminya tidak lagi menafkahi pasca cerai. Dan tidak mungkin ada
laki-laki yang mau menikahinya. Dia sudah tua. Keriput. Keadaan yang sulit. Suaminya meluapkan emosianya
dengan sumpah Zihar itu. Habis manis sepah dibuang.
Nabi bingung harus menjawab bagaimana.
Perempuan itu terus menuntut. Ia ingin suaminya kembali halal baginya. Ia ingin Allah tetap
mempertahankan ikatan mereka. Dengan mengabrogasi tradisi sumpah Arab yang
diskrimantif itu mungkin? Atau memberikan solusi agar sumpah itu dapat
dibatalkan. Sumpah itu sangat menyakitkan baginya. Saat usianya sudah tidak
lagi muda, suaminya tega dengan sengaja, dengan kekuatan tradisinya, menelantarkan dirinya.
Namun wahyu tidak segera memberikan jawabnya. Beberapa waktu
kemudian pesan Tuhan datang. Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan
wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan
(halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang
menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal)
tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita
yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan
suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun. Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Benar. Tuhan mengabulkan keinginan Khaulah, nama perempuan
itu. Anak perempuan Tsa’labah itu bahagia mendengarnya. Allah juga mengutuk
tindakan sewenang-wenang itu. Zihar dilaknat Allah. Memang, dia adalah seorang
istri. Bukan ibu dari suaminya yang haram disetubuhi. Perkataan bohong, jika
seorang laki-laki menyamakan istrinya dengan ibunya yang haram itu. Laki-laki
yang hanya ingin menghindar dari tanggung jawab. Dan mau mengambil enaknya saja.
Selain melaknat, Allah membebankan kepada pelaku Zihar penebusan dengan
memerdekakan seorang budak. Seperti sangsi bagi palanggaran sumpah (atau
aturan) tingkat berat lainnya. Laknat dan sangsi berupa pembebasan budak memang
sangsi tingkat berat. Apakah ini cukup?
Tidak. Bukan soal cukup tidaknya. Perempuan itu tahu betul
kondisi suaminya yang selama ini hidup bersamanya. Suaminya tidak akan mampu. Suaminya
miskin. Ia begitu kasihan pada suaminya. Selain karena memang tidak mampu. Ia
meminta Nabi memberi keringanan. Nabi bingung. Kemudian turun pesan
Tuhan, Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Nabi mengabarkan itu kepada Khaulah yang sedang
sedih menunggu kepastian hukum. Namun, lagi-lagi sangsi itu masih cukup berat.
Dia tahu suaminya masih memiliki hasrat tinggi terhadap perempuan. Toh,
dia sudah tua. Mana kuat (puasa). Suaminya malah berkata, “Makan sehari tiga
kali saja membuat mataku kabur. Apalagi jika aku harus berpuasa selama
itu.” Khaulah kasihan. Ia minta keringanan. Nabi menunggu
wahyu. Beberapa waktu kemudian wahyu itu datang. Maka siapa yang tidak kuasa
(melakukan puasa, wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Keluarga sulit. Sudah miskin, tua, dan banyak tingkah lagi. Namun
rahmat Allah tiada tara. Rasulullah maklum. “Baiklah Khaulah, pergi dan
temui seorang perempuan Anshar, kemarin dia berniat sedekah kepadaku. Ambilah
itu. Dan gunakan untuk membayar kafarat (denda melanggar sumpah) suamimu,”
demikian kata Nabi.
Meskipun Aus bin al-Shamit, orang Anshar, suami Khaulah binti
Tsa’labah yang juga sepupunya sendiri itu telah melakukan penganiayaan
(tepatnya kekerasan) psikologis terhadap istrinya, dan sangsi-sangsi berat
telah diberikan, namun Allah dan Rasulullah tidak memutuskan rasa kasihnya.
Permakluman diberikan. Karena keduanya ingin tetap menyatu. Suaminya ingin
kembali. Memenuhi harapan istrinya. Namun yang tidak boleh dilalaikan,
lebih-lebih secara sengaja, perempuan sebagai istri memiliki hak-hak untuk
tidak disakiti. Secara psikologis saja tidak boleh, apalagi secara fisik. Semangat
ini yang patut dipahami dan diamalkan. Semoga tindak kekerasan kepada para ibu
semakin hari semakin berkurang. Semoga para suami yang bebal hatinya segera
diberi kesadaran. Dan, untuk para ibu, selamat hari ibu. Semoga kau selalu
dihargai. Namun jangan menjatuhkan harga dirimu sendiri. Ingatlah
saudari-saudarimu yang dengan tulus memperjuangkan hak dan harga dirimu. Semoga
Tuhan memberikan pertolongan.
Ciputat, 21 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar