Muhammad Khoirul Huda*
Prolog
Sejarah panjang tradisi intelektual di lingkungan umat
Islam telah menyuguhkan kekayaan pengetahuan tiada tara. Dan bila kita lihat sepintas lalu, awalnya adalah
usaha-usaha memahami pesan-pesan Tuhan yang tertuang dalam sumber-sumber
otoritatif muslim; Quran dan Sunah.
Tata bahasa, sastra, moral, hukum, teori hukum, teologi, filsafat,
politik, sejarah, hingga sosial dan kealaman seringkali dikaitkan dengan
Realitas Tertinggi sumber inspirasi spiritual Islam. Ini menjadi ciri khas
pengetahuan arus utama di masa lalu; dan sepertinya demikian pula saat ini.
Seperti dapat kita lihat dalam tata bahasa Arab, di mana kemunculannya
seringkali dikaitkan dengan menurunnya cita rasa ideal bahasa yang mengancam
orisinalitas kebudayaan Arab yang menjadi paradigma yang cukup efektif dalam
memahami ajaran agama di satu sisi, dan penjagaan sumber-sumber agama di sisi
lain. Terutama al-Quran. Ini meniscayakan diadakannya usaha-usaha ‘pengamanan’
terhadap bahasa Arab, sebagai bagian dari kebudayaan Arab secara keseluruhan. Hal
ini pula yang mendorong perumusan kaidah-kaidah kebahasaan menjadi begitu
penting.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba berselancar mengarungi bagian tersempit
dari luasnya samudra ilmu bahasa, untuk selanjutnya akan penulis pakai membaca
teks hadis talqin mayit. Tema yang kurang sempurna dari segi analisa teks,
walaupun kaya referensi.
Fungsi Bahasa
Bahasa memiliki banyak fungsi. Awalnya, bahasa berguna sebagai piranti
komunikasi. Selanjutnya bahasa menjadi simbol-simbol bagi hal yang kompleks
dalam hubungan antar manusia. Bahasa tersusun dari lafal dan makna. Lafal ada
yang sederhana dan ada yang komplek. Yang sederhana disebut Lafazh
(Kata) dan yang komplek disebut Kalam (Kalimat).
Makna memiliki ragam yang tidak sedikit. Kadangkala, satu kata memiliki
satu makna, kadang lebih. Sering juga dijumpai beragam kata yang memiliki makna
yang sama. Ini disebut Muradif. Kata bermakna ganda (dua atau lebih) secara
teknis disebut Musytarak. Kata yang memiliki penunjukan makna tanpa
batasan kualitas disebut Muthlaq. Sedang yang tidak memiliki batasan
kuantitas dinamakan Mujmal. Demikian beragam pemetaan makna-makna kata. Sehingga
identifikasi jenis kata membutuhkan kejelian dan data pendukung (referensi)
yang kaya.
Jika makna adalah sesuatu yang diletakkan pada lafal, maka dari segi asal
peletakannya itu, makna dipilah menjadi makna pertama dan makna kedua. Makna
pertama ini sering disebut Haqîqat, dan Majâz untuk
makna kedua.
Relasi Lafal dan Makna
Hubungan antara lafal dan makna seperti kaitan jasad dan ruh. Di mana
lafal-lafal yang tak bermakna tidak lebih dari sekumpulan bunyi (atau
garis-garis tak beraturan dalam konteks tulisan). Sama dengan jasad yang tak
bernyawa tidak lebih dari kumpulan daging berserat dan tulang-tulang yang kita
sebut bangkai. Tidak bernilai apa-apa. Makna tanpa kata hanya akan menjadi ide-ide
kosong yang tidak bisa dipahami dan diakui keberadaannya. Mirip dengan ruh
tanpa jasad yang tidak berdaya terkungkung dalam ruang kosong. Jika ruh
menjadikan jasad bernilai, demikian pula makna. Ia membuat bunyi (atau tulisan)
memiliki nilai dan diakui eksistensinya.
Kata adalah simbol bagi makna-makna. Sehingga dengan menangkap ‘kata’ kita
dapat memahami makna. Simbol berfungsi menunjukkan pada inti pesan atau maksud.
Kata sebagai simbol dan penghantar kepada makna harus dapat ditangkap indera
sebelum akhirnya dipahami. Lantas bagaimana sebuah simbol dapat dipahami oleh
kesadaran manusia? Mengapa kata dapat memiliki makna? Apakah manusia sendiri
yang memberi dan meletakkan makna-makna pada lafal itu? Jika jawabannya
positif, manusia itu individu atau bersama dalam kelompok (kesepakatan bersama
untuk menerima sebuah simbol bagi suatu makna tertentu)? Atau bukan manusia?
Lalu apa? Lafal itu sendiri kah yang menciptakan arti dalam dirinya? Atau semua
itu adalah hasil kerja Tuhan? Ini untuk menjelaskan relasi kata sebagai simbol
di satu sisi, dan makna di sisi yang lain.
Para ulama di masa lalu telah mengkaji hal ini. Muncul dua aliran besar.
Aliran pertama, yang dimotori Abu al-Hasan al-Asy’ari, mengatakan bahwa
keberadaan makna pada suatu lafal adalah ketetapan Tuhan (Tauqîfî). Ini
berdasar pada ayat Wa ‘Allama Al-Âdam Al-Asmâ’ Kullahâ (Dan Allah
mengajarkan seluruh nama-nama kepada Adam). Nama adalah kata. Kata adalah
bagian dari bahasa. Bahasa adalah simbol. Bahasa tersusun dari lafal dan makna.
Di balik simbol ada yang disimboli. Jadi sejak pertama kali ada, lafal selalu
disertai makna. Yang menyertakan itu adalah Allah. Lalu mengapa ada begitu
banyak bahasa di dunia ini? Apakah Allah mengajarkan seluruh bahasa yang
beraneka ragam itu kepada Adam? Tidak. Setelah keturunan Adam berkembang biak
di muka bumi, di mana mereka tidak dapat hidup dengan baik tanpa petunjuk dan
ilmu, Allah menurunkan para nabi. Selain mengajarkan keesaan Allah, para nabi
juga mengajarkan bahasa, juga beragam ilmu pengetahuan (dari teori ini dapat
kita pahami, bahwa peradaban kuno yang pernah ada dibangun berdasarkan petunjuk
wahyu dan mematahkan pernyataan sebagian orang yang mengatakan semua kemajuan
hanya dapat diperoleh dengan nalar dan dengan mengeyampingkan wahyu di sisi lain).
Aliran kedua, yang banyak didukung ulama-ulama Muktazilah, berpendapat
bahwa bahasa tercipta karena proses konvensi di lingkungan manusia. Sebuah
simbol, lampu merah misal, dapat memiliki arti keharusan berhenti, dan semua
orang banyak tahu itu baik karena diajarkan atau kebiasaan yang berlaku, adalah
hasil pemaknaan bersama. Kelompok ini tidak membedakan apakah tadinya yang
meletakkan makna itu satu orang tertentu atau sekelompok orang. Pendapat ini
memperoleh pembenaran dari ayat, Wa Mâ Arsalnâ Min Rasûl Illa Bilisâni
Qaumihi (Dan kami tidak mengutus seorang rasul melainkan dengan bahasa
kaumnya). Ayat ini menunjukkan bahwa sebelum kedatangan para nabi, bahasa telah
ada dan digunakan dalam masyarakat seorang nabi. Teori terakhir mendapat
dukungan dari pakar bahasa kontemporer. Walaupun tidak sepenuhnya benar.
Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa asal muasal makna dalam kata
masih menjadi misteri. Perdebatan dilanjutkan kepada apakah kita diperbolehkan
menggunakan sebuah kata dengan makna yang kita kehendaki? Dengan mengabaikan
penggunaannya di masyarakat umum. Ini berkaitan dengan produksi istilah dan
peletakan sebuah makna pada lafal yang pada awalnya tidak pernah diletaki makna
tersebut, seperti dalam kasus Majâz dengan menggunakan suatu indikator.
Apakah ada yang disebut Majâz dalam bahasa?
Musytarak, Haqîqat, dan Majâz; Ide Satu Kata Banyak Makna
Apakah sebuah kata dapat memiliki lebih dari satu makna? Para ulama
mengakui adanya fenomena ini. Contoh kata Al-Hidâyat. Tidak hanya
berarti petunjuk. Tapi juga dapat berarti penjelasan, tuntunan, taufik
(pertolongan Tuhan), dan ilham. Orang-orang Arab, juga al-Quran menggunakan
kata al-Hidâyat untuk makna-makna yang berbeda-beda.
Contoh lain adalah kata “Al-Qur`u” dan “al-‘Ain”. Demikian pula
kata al-Asad (Singa). Kadang digunakan menyebut salah satu hewan buas,
kadang untuk menunjuk seorang atau kelompok orang yang memiliki karakteristik
sama dengan hewan itu. Singa Padang Pasir, Singa Podium, Singa Edan. Di sinilah
persoalannya. Bagaimana menjelaskannya? Kapan sebuah kata bermakna ini, dan
kapan bermakna itu. Bagaimana kaitan antara satu makna dengan makna lainnya.
Dapatkah satu makna menggantikan makna yang lain walaupun bertentangan, atau
minimal tidak dikehendaki pengucapnya?
Makna-makna yang diletakkan pada satu kata, sehingga menjadi makna asal
bagi kata tersebut dan secara bersama-sama (bersekutu) berhak dipahami sebagai
bagian dari kata tersebut saat diucapkan, oleh para ulama dikategorikan dan
dinamakan Musytarak. Kriteria makna asal adalah penggunaan yang berlaku
di masyarakat Arab. Hal ini seperti pada kata al-Hidâyat dan
al-Qur`. Seluruh makna yang ada tersebut termasuk Haqîqat.
Yakni makna awal yang diletakkan dan digunakan sebagai dilâlat suatu
lafal.
Ketika suatu makna dipakai karena adanya suatu alasan yang mengaitkan
dengan makna awal, makna tersebut dikenal sebagai makna Majâz.
Pengait yang menghubungkan dengan makna awal dianggap sangat penting. Tanpanya
suatu pernyataan dapat diklaim salah dan bohong. Bila dikatakan,
يَجْعَلُوْنَ أَصَابِعَهُمْ فِيْ أَذَانِهِمْ
“Mereka
menyumpalkan ‘tangan-tangan’ mereka ke kuping-kuping mereka.”
Makna awal kata “Ashâbi’” adalah seluruh bagian tangan yang mulai
dari pergelangan hingga ujung jari. Persoalannya, bagaimana mungkin mereka
(orang-orang kafir) dapat memasukkan seluruh bagian tangannya ke dalam telinga?
Apakah telinga mereka cukup besar? Bila ditanyakan ulang, apakah perkataan
al-Quran itu bohong? Tidak masuk akal. Tidak. Karena makna dari “Ashâbi’ahum”
bukan “tangan-tangan”, tapi “Jari-jari mereka”. Jadi maksudnya, mereka
menyumpalkan jari-jari mereka ke kuping-kuping mereka. Perpindahan dari
digunakannya makna pertama kepada makna kedua dilandasi oleh suatu pengait
(biasa disebut ‘Alâqat). Pengait tersebut adalah ketidakmungkinan
makna pertama. Atau bisa jadi ini merupakan bagian dari kaidah mengucapkan
keseluruhan namun menghendaki yang partikular. Jika demikian, ‘Alâqat
–nya adalah keberadaan keseluruhan itu sendiri. Ashabi’ tidak
populer untuk menunjuk makna jari. Karena itu, penunjukkan makna jari merupakan
pelampauan dari makna asalnya. Ia melampaui, dalam bahasa Arab disebut Majâz,
maknanya yang pertama.
Contoh lain adalah,
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَّيِّتُونَ
“Sesungguhnya kau (akan) mati dan mereka juga (akan) mati.”
Ayat ini turun saat Nabi masih hidup. Kata “Mayyit” digunakan untuk
seorang yang masih hidup. Apakah ini sebuah kebohongan? Alasan inilah yang mendorong Daud al-Zahiri,
seorang murid Imam al-Syafi’I menolak konsep Majâz dalam al-Quran.
Membenarkan Majâz adalah mengakui kebohongan. Namun tidak demikian
dengan kebanyakan ulama. Kata-kata semacam itu tidak bisa disebut bohong.
Karena yang dimaksudkan bukan sesuai arti literalnya. Jika arti literal redaksi
mayyit adalah man qâma ‘alaihi al-maut, orang yang memiliki sifat
mati, sama dengan al-Qâ`im yang berarti orang yang
memiliki sifat berdiri. Maka dalam konteks ayat di atas, yang dimaksud adalah orang
yang “akan” memiliki sifat mati. Artinya, jika makna literal ayat di atas
menunjukkan ke-sekarang-an, makna keduanya adalah ke-akan-an. Dari zaman
sekarang ke zaman yang akan datang. Dari Hâl ke Mustaqbal.
Dalam hal ini terdapat perpindahan makna. Makna pertama dilampaui dan
ditinggalkan untuk dialihkan ke makna kedua. Dalam bahasa Arab, pelampauan itu
disebut Majâz.
Namun ada yang janggal. Bagaimana sebuah Isim (kata benda atau
sifat) dapat sangat terikat dengan waktu? Jika kita katakan zaman Hâl
sebagai makna awal Isim Fâ’il, yang artinya ia adalah makna Haqîqat
dan zaman Mustaqbal sebagai makna keduanya, makna Majâz-nya, maka
dapat disimpulkan bahwa Isim juga berzaman. Ini bertentangan dengan
kaidah umum tentang Isim yang mendefinisikannya sebagai kata yang dapat
menunjukkan makna dengan sendirinya tanpa disertai keterangan zaman.
Isim Fâ’il, demikian pula Isim sifat
lainnya, memiliki kekhasan yang tidak dimiliki bentuk-bentuk Isim lain. Di
mana, ia tidak dianggap Isim murni. Ia memiliki kemiripan dengan Fi’il
(kata kerja), terutama Fi’il Mudhâri’ (kata kerja yang menunjuk sekarang
dan akan datang). Terdapat tiga argumentasi untuk mengukuhkan pernyataan ini;
lafal, makna, dan amal (pengaruh). Di lingkungan ulama Nahwu aliran Bashrah,
lafal Isim Fâ’il dianggap terbentuk dari Fi’il Mudhâri’.
Ini dibuktikan dengan jumlah huruf dan struktur fonetik kata yang mirip. Isim
Fâ’il dan Fi’il Mudhâri’ yang berasal dari tiga huruf (Tsulâtsi),
sama-sama terdiri dari empat huruf dengan satu tambahan. Sedangkan yang berasal
dari empat huruf dan seterusnya, tambahan huruf selalu sama dalam keduanya. Segi
fonetik, bunyi atau mati-hidupnya huruf, juga sama. Huruf kedua adalah mati
dalam keluarga Tsulâtsi.
Karena dianggap diderivasikan dari Fi’il Mudhâri, Isim Fâ’il
memiliki unsur-unsur Fi’il dan mempertahankannya dalam bentuk barunya.
Unsur-unsur maknawi yang dianggap dipertahankan yaitu; Hadats (unsur
pekerjaan) dan Zamân (waktu) sebagai keniscayaan sebuah pekerjaan.
Keberadaan Hadats inilah yang membuat Isim Fâ’il, juga
Isim Sifat lainnya, disebut al-Asmâ` al-Musyabbihat (bi al-Af’âl).
Sebagai keniscayaan, karena tidak mungkin pekerjaan dilakukan di luar konteks
waktu, Isim Fâ’il juga mempertahankan unsur Zamân. Lebih
tepatnya Zamân Hâl dan Mustaqbal. Ketika kedua unsur tersebut
ditemukan dalam Isim Fâ’il, maka ia dapat berfungsi seperti
bentuk Fi’il-nya sebelum bermetamorfosa menjadi Isim; memberikan dampak
fonetik bagi lafal setelahnya yang menjadi subyek (Fâ’il) atau obyek (Maf’ûl).
Salah satu saja hilang unsur itu, Isim Fâ’il tidak dapat beramal.
Seperti ketika unsur Zamân-nya berubah menjadi lampau (Mâdhi). Isim
Fâ’il yang ber-Zamân lampau
tidak dapat beramal seperti ketika ia ber-Zamân Hâl atau Istiqbâl.
Inilah tiga argumen kedekatan Isim Fâ’il dengan Fi’il, secara
khusus Fi’il Mudhâri’. Hal
ini pula yang menjadikan Isim Fâ’il berbeda dari kebanyakan Isim
lainnya. Di mana Isim Fâ’il memiliki Zamân. Bukan hanya Hâl
atau Mustaqbal, tapi juga Zamân Mâdhi. Isim Fâ’il punya
tiga Zamân. Dengan demikian, apakah perpindahan Zamân pada Isim
Fâ’il merupakan bentuk perpindahan makna pertama kepada makna kedua dalam
pengertian perpindahan dari Haqîqat ke Majâz, atau justru
dari makna awal yang satu kepada makna awal yang kedua dan ketiga dengan
pengertian lafal Isim Fâ’il adalah lafal Musytarak (bersekutu
beberapa makna di dalamnya, dalam konteks ini makna Zamân). Di sini
sepertinya pakar Nahwu berbeda pendapat dengan pakar Ushul Fikih. Pakar Nahwu
melihat Isim Fâ’il sebagai lafal Musytarak, di mana di dalamnya
bersekutu tiga Zamân secara bersama-sama. Ini berbeda dengan pakar Ushul
Fikih yang menganggap keberadaan Zamân Hâl, sebagai Zamân
original yang dimiliki Isim Fâ’il. Sedang Zamân yang lain
hanyalah komplementer bagi yang lain.
Dari sini saja, dapat dilihat betapa problem makna cukup komplek. Antara
keberadaan Isim Fâ’il sebagai lafal Musytarak atau Haqîqat
– Majâz. Namun, pendekatan manapun yang hendak dipakai, masing-masing
meniscayakan semacam indikator yang dapat menentukan dan memastikan makna mana
yang sebenarnya dikehendaki dari sebuah teks. Kasus Qur`u menunjukkan bahwa
indikator itu dapat ditemukan di luar teks. Yakni penggunaan kata tersebut
untuk satu makna tertentu (Haidh atau Thuhr). Berbeda
dengan konsep Majâz yang indikatornya dapat ditemukan dalam teks itu
sendiri. Indikator dalam Majâz disebut ‘Alâqat (pengait,
penghubung). Seperti diinventarisir Ahmad al-Hasyimi, dalam studi sastra
Arab (Balâghat) terdapat delapan belas macam ‘Alâqat untuk
kategori Majâz Mufrad (majaz kata, sebagai bandingan majaz kalimat); (1)
‘Alâqat Sababiyyat, (2) Musabbabiyyat,
(3) Kulliyyat, (4) Juz`iyyat, (5) Lâzimiyyat,
(6) Malzûmiyyat, (7) Âliyyat, (8) Taqyîd, (9)
‘Umûm, (10) Khusûsh, (11) I’tibâr Mâ Kâna,
(12) I’tibâr Mâ Yakûn,(13) Hâliyyat, (14)
Mahalliyyat,(15) Badaliyyat,(16) Mubdaliyyat,(17)
Mujâwarat,(18) Ta’alluq Isytiqâqi.
‘Alâqat nomor 3, 4, 8, 9, 10, 11, 12, 18 merupakan indikator
yang bersumber dari dalam teks. Selebihnya adalah unsur ekstern (luar). Jika
kita menggunakan pendekatan Majâz untuk membaca redaksi Mayyit pada
ayat di atas, maka ‘Alâqat yang dipakai adalah I’tibâr Mâ
Yakûn (menilai apa yang akan terwujud). Kematian akan terwujud dalam diri
Nabi dan orang-orang musyrik. Walaupun untuk saat ini mereka masih belum mati. Demikian
makna sederhananya.
Hadis Talqin; Musytarak atau Haqîqat-Majâz?
Nabi pernah mengatakan,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّه
“Ajarkanlah orang-orang (yang hendak) mati di antara kalian kalimat Lâ
Ilâha Illa Allâh.”
Tidak ada keterangan lengkap terkait hadis di atas, dalam kontek apa dan
kepada siapa sabda itu ditujukan. Di sini sebenarnya problem pemaknaan itu
muncul. Seringkali perdebatan yang terjadi adalah perdebatan dalam memahami
teks. Satu teks ditarik ngalor-ngidul. Seringkali pula, keberagamaan
didasarkan pada potongan lafal. Pemahaman keagamaan yang didasarkan pada
potongan itu akhirnya menjadi area debat kusir berkepanjangan. Padahal, jika
diperhatikan betul, lafal memang menyediakan unsur-unsur yang menjadi basis
bagi beragam pemahaman. Dan memang seperti itulah cara kita beragama. Memahami
pesan Tuhan melalui teks. Sumber yang paling punya otoritas. Dan seharusnya,
jika itu didasarkan pada pemahaman terhadap teks dapat dihormati.
Ada beragam redaksi yang mirip dengan hadis di atas. Hanya saja, perbedaan
terletak pada tambahan. Jika di atas disebut kalimat Lâ Ilâha Illa Allâh,
dalam redaksi lain agak lebih panjang. Sebagian riwayat menuturkan keutamaan.
Seperti di singgung dalam pembahasan tentang lafal Mayyit pada ayat
al-Quran di atas, pembacaan redaksional
dapat kita pakai di sini. Perdebatan dimulai pada redaksi “Mautâkum”. Mautâ
adalah jamak dari lafal Mayyit. Mayyit sendiri adalah Isim Fâ’il
yang mengikuti wazan Fai’il (فيعل).
Mayyit diambil dari Fi’il Mâta-Yamût. Dengan Fi’il
Madhi yang mengikuti wazan Fa’ila. Terdapat dua Isim Sifat dari kata
Mâta, Mayyit مَيِّت) ( dan Mait (مَيْت). Menurut sebagian pakar bahasa, bentuk Mait
menunjuk pada orang yang telah mati. Sedangkan Mayyit atau Mâ`it
untuk orang yang belum mati. Menurut al-Jauhari, mengutip al-Farra’, orang yang
belum mati jarang sekali disebut Mâ`it atau Mayyit.
Sedangkan menurut Ibnu Manzhur, dalam magnum opus-nya dalam bidang
leksikografi, pemilahan ini adalah sebuah kesalahan. Mayyit dapat
dipakai untuk menunjuk orang yang akan mati atau sudah mati. Sebagai argumen,
Ibnu Manzhur mengajukan ayat Innaka Mayyit Wa Innahum Mayyitûn. Dalam
ayat ini, Allah menggunakan redaksi Mayyit untuk orang yang masih hidup.
Hal ini menunjukkan bahwa Mayyit tidak hanya untuk orang yang sudah
mati. Dengan demikian, menurut Ibnu Manzhur, penunjukan Mayyit kepada
makna orang yang belum mati, adalah hakikat.
Argumen lain, ditemukan dalam syair Adi bin al-Ra’la`, seorang penyair
jahili, penggunaan Mayyit untuk orang yang sudah mati sekaligus bagi
yang belum mati. Ia berkata,
ليس مَن مات فاسْتراحَ بمَيْتٍ# إِنما المَيْتُ مَيِّتُ الأَحْياءِ
إِنما المَيْتُ مَن يَعِيشُ شَقِيّاً# كاسِفاً بالُه قليلَ الرَّجاءِ
Orang yang telah mati lalu beristirahat tidak pantas disebut mati
Kematian sejati adalah kematian orang yang masih hidup
Orang yang telah mati ialah yang hidup susah
Merana hatinya, yang sedikit harapannya
Adi bin al-Ra’la` menggunakan Mait setara dengan Mayyit.
Sama-sama untuk orang hidup (lihat Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, 2/90).
Bentuk plural dari Mayyit atau Mait adalah Mauta, Amwât,
mayyitûn, dan Maitûn. Dari sini, jika Ibnu Manzhur memahami makna
orang yang masih hidup sebagai makna hakiki dari kata Mayyit, di samping makna
orang yang sudah mati, maka dapat disimpulkan bahwa kata Mayyit adalah Musytarak.
Satu kata yang memiliki banyak makna. Jika
menggunakan pendekatan Bayani, seperti di atas, Mayyit bermakna Hakikat
jika menunjukkan makna orang yang telah mati, dan bermakna Majaz untuk orang
yang belum mati.
Penutup
Analisa tekstual di atas menunjukkan kepada kita bahwa memang keberagamaan
kita sering didasarkan kepada potongan teks. Sedangkan keberadaan teks-teks
yang lain, seringkali menjadi argumen penguat dari asumsi pertama yang dibangun
oleh teks awal. Internal teks sendiri telah memberikan ruang bagi
kemungkinan-kemungkinan yang beragam. Dengan demikian, kepastian makna tidak
dapat dicari dari dalam satu teks saja. Pemberi kepastian harus melibatkan
unsur eksternal di luar teks. Namun, lagi-lagi apakah hal itu dapat secara
pasti membatasi kemungkinan-kemungkinan redaksional sebuah teks?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar