Muhammad Khoirul Huda*
Suatu ketika, Amr bin Maimun, seorang sahabat Nabi, berada di tengah gerombolan kambing gembalaan milik
keluarganya di Yaman. Dia berada di sebuah tempat yang agak tinggi. Tiba-tiba
seekor kera jantan datang bersama betinanya. Kemudian kera jantan itu tidur dengan
menjadikan tangan kera betina sebagai bantalnya. Lalu datang seekor kera jantan
lain yang berukuran tubuh sedikit lebih kecil (muda) dari kera jantan pertama.
Kera kecil itu memancing perhatian kera betina. Kera betina itu melepaskan tangannya
secara pelan-pelan, kemudian pergi mengikuti kera muda. Kera muda itu
menyetubuhi sang kera betina. Setelah itu kera betina kembali, dan mengalaskan
tangannya. Kera jantan bangun dan mencium adanya aroma asing di tubuh
pasangannya. Ia berteriak. Teriakan itu menarik perhatian kera-kera lainnya.
Kera-kera itu saling berteriak, menyebar ke kanan dan kiri. Mereka mencari si
kera muda. Akhirnya mereka berhasil menangkap kera muda itu. Keduanya tertangkap basah berselingkuh.
Mereka membuat
lubang untuk kedua kera yang berselingkuh. Mereka merajam sepasang kera itu. Amr
bin Maimun takjub. Terheran-heran. Baru kali ini ia melihat bahwa ternyata
praktik rajam tidak hanya berlaku di kalangan manusia. Di sini, hukum ditegakkan,
dengan ketegasan tentunya.
Kisah di atas disebutkan dalam al-Jâmi’
al-Shahîh karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim
bin al-Mughirah al-Bukhari. Pembesar muhaddits yang karyanya diakui sebagai
kitab yang paling shahih setelah al-Quran. Sebagian orang menyoal otentisitas
hadis ini, karena dari beberapa manuskrip al-Jâmi’
al-Shahîh hanya satu yang mencantumkan riwayat ini. Ditambah
keberadaan praktik zina serta sangsinya di lingkungan kera, yang tidak masuk
akal, karena pada dasarnya, hukum hanya diperuntukkan bagi makhluk yang
berkesadaran; jin dan manusia. Andaikan benar ada praktik zina dan sangsinya di
kalangan kera, satu-satunya interpretasi yang dapat ditawarkan adalah mereka
bukan kera sebenarnya. Tapi mereka adalah jin yang merupa dalam bentuk kera.
Sebagian orang berpandangan bahwa mereka adalah keturunan manusia-manusia yang
dikutuk menjadi kera oleh Tuhan. Dan hukum yang pernah Tuhan
syariatkan kepada mereka, saat masih jadi manusia, tetap mereka berlakukan.
Lagi-lagi, hal ini adalah soal ketegasan, lebih jelasnya, dalam konteks para
monyet tadi, ketegasan dalam menegakkan hukum. Kita bisa belajar dari ketegasan
para monyet, yang mantan manusia itu.
Setahun sudah pemerintahan yang digawangi gerbong baru dengan
kapala lama berjalan. Satu hal yang seringkali dijadikan sasaran kritik adalah
ketidaktegasan dalam mengambil sikap terhadap persoalan bangsa. Hanya satu
ketegasan yang selama ini dicatat oleh publik. Yakni pembatalan kunjungan ke
Belanda, yang atas undangan Ratu Beatrix itu. Dari sekian catatan ketegasan
yang ada, hanya ketegasan itulah yang dianggap publik sebagai ketegasan yang
melindungi kehormatan dan harga diri bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain.
Belanda tidak menghargai kedaulatan Indonesia, saat pengadilan negeri mereka
menggelar sidang atas tuntutan aktivis Republik Maluku Selatan. Juga pengadilan
atas Wilders, sang sutradara film pendek Fitna yang menyakiti hati umat Islam;
penduduk mayoritas di Indonesia. Ini mungkin spekulasi media, tapi sangat
penting karena telah berhasil mendorong timbulnya simpati publik atas ketegasan
pemerintah. Andai ketegasan itu juga diwujudkan dalam beberapa kasus lainnya,
seperti saat berhadapan dengan Malaysia, baik soal perbatasan atau TKI, semestinya
kita patut berbangga. Namun, nyatanya hanya satu kasus saja.
Kembali kepada monyet-monyet tadi, sepertinya pemerintah kita
kalah dengan mereka. Dan perlu banyak belajar kepada (bukan ‘dari’) mereka.
Aksi yang dilakukan sebagian kawan-kawan mahasiswa tempo hari, baik untuk
mendukung atau mengkritik, dalam memperingati satu tahun kerja Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid 2, sangat penulis hargai. Ketika diajak turut serta
dalam aksi tersebut, dalam barisan pendukung, penulis menolak. Karena,
sekalipun pemerintah mencapai prestasi dalam beberapa hal yang patut dihargai,
namun soal ketegasan kosong. Kita malu saat berhadapan dengan orang Malaysia,
dan mereka mengatakan, “Dari Indon ya?” dengan nada merendahkan. Sepertinya
kita tidak lebih terhormat daripada mereka. Karena itu, ke depan, penulis
berharap, “Mbok yo seng rada teges to Pak? Mosok kalah karo kethek?”
Jika pada tahun sebelumnya, sebagian demonstran membawa
kerbau sebagai simbol kelambanan dan ketidaktegasan, untungnya pada aksi kemarin
tidak ada yang membawa keong, atau malah monyet? Karena, menyamakan dan
penyamaan perilaku manusia dengan hewan adalah serendah-rendahnya penghinaan. Bukankah begitu Pak Presiden?
(Essai ini ditulis sebagai bahan diskusi pada Forum Mahasiswa
Tafsir-Hadis [FORMATH] Fakultas Usuludin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dimuat
dalam Majalah Misykat PP. Lirboyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar