M. Khoirul Huda*
Abstrak
Kajian hadis-hadis bertentangan telah dimulai sejak sebelum masa
al-Syafi’i. Namun, baru di tangan al-Syafi’i, kajian ini menemukan bentuk teoretisnya
terutama melalui karya yang berjudul Ikhtilâf al-Hadîts. Karya ini muncul sebagai
bagian dari usaha al-Syafi’i dalam mengkonstruksi bangunan fikih, terutama
aliran ahli hadis dengan memberikan penguatan pada basis teoretisnya untuk
menghadapi serangan ahli ra’yu, inkar al-Sunnah, dan kelompok Kalam. Al-Syafi’i
merasa berkepentingan meneguhkan eksistensi sunnah dengan segala variannya. Secara
intern, al-Syafi’i harus menghadapi dan menyelesaikan problem hadis-hadis yang
saling bertentangan yang merupakan celah yang dapat dimanfaatkan kaum yang
menolak hadis sebagai bagian dari syariah. Di sinilah perlunya mengetahui
perjalanan awal Mukhtalif al-Hadîts.
Kata Kunci: Mukhtalif, Ikhtilaf, Hadis, al-Syafi’i
Pendahuluan
Ajaran Islam
didasarkan atas ketaatan kepada perintah Allah yang tertera dalam al-Quran.
Rasulullah memiliki peran ganda; sebagai penyampai, penjelas, sekaligus
pengamal yang kadang memiliki hak khusus. Sebagian ‘perilaku’ Nabi juga dapat
menjadi sumber hukum yang mandiri, ketika al-Quran tidak memberikan keterangan
sama sekali. Melalui al-Risalah, al-Syafi’I menjelaskan bahwa agama ini
didasarkan pada konsep Bayan [penjelasan dari Tuhan]. Pertama penjelasan
dengan al-Quran, kemudian melalui sunnah Nabi.[2] Di sinilah posisi sunnah menjadi
lebih mapan di banding sebelumnya. Di mana sunnah telah mendapatkan legitimasi
teologisnya.[3] Dengan status sebagai sumber kedua
syariah, bersamaan dengan kemapanan yang diperolehnya melalui teoritisasi yang
dilakukan al-Syafi’I dengan proyek ushul fikihnya, sunnah mulai dikaji secara
teoretik-konseptual. Bukan sekadar diriwayatkan dan diamalkan.
Perbandingan
dua atau lebih sunnah seringkali memunculkan pemahaman yang berbeda. Perbedaan
riwayat, pemahaman, berikut pengamalannya menjadikan pertentangan antar sunnah
tidak terelakkan. Fenomena semacam inilah yang menjadi fokus kajian ilmu Mukhtalif
al-Hadîts.
Kajian
teoretis tentang kontradiksi yang ada dalam hadis-hadis Nabi saw. sudah dimulai
sejak abad kedua Hijriah. Sebagaimana dicatat al-Suyuthi, buku yang pertama
kali membahasnya sebagai kajian yang mandiri adalah Ikhtilâf al-Hadîts karya al-Imam al-Syafi’I [w.
204 H.]. Dalam tema yang sama, al-Imam Ibnu Qutaibah [w. 276 H.] tampil dengan
karyanya Ta’wil Mukhtalif al-Hadîts, yang berusaha mempertahankan akidah
melalui pendekatan hadis sebagai pengkayaan sekaligus alternatif bagi
perspektif yang berkembang luas saat itu dalam memahami problem-problem
teologis yang sering kali dimonopoli kelompok Kalam, Tasawuf, dan Filsafat. Kajian
Mukhtalif al-Hadîts juga diperkaya dengan kehadiran Syarah Musykil
al-Atsar karya Abu Ja’far al-Thahawi [w. 321 H.], seorang ahli fikih, pakar
hadis, dan mufassir yang dipercaya sebagai pendiri aliran Mazhab Thahawiyah,
salah satu sekte dalam rumpun Sunni. Berikutnya, Ibnu Faurak [w. 406 H.]
menghadirkan master piece-nya yang berjudul Kitab Musykil al-Hadîts au Ta’wil al-Akhbar al-Mutasyabihah dalam diskusi Mukhtalif al-Hadîts ini.
Melihat kakayaan khazanah yang telah diproduksi oleh tokoh-tokoh antar
zaman yang begitu banyak seperti disebut di atas, ada baiknya jika kita batasi
diskusi ini pada satu karya saja. Di sini penulis memilih Ikhtilâf al-Hadîts, karya al-Imam al-Syafi’I
dengan beberapa pertimbangan. Pertama kitab tersebut adalah yang paling tua.
Kedua, keberadaan al-Syafi’I sebagai konseptor pertama kajian Mukhtalif
al-Hadîts, sekaligus bangunan Ushul Fikih secara keseluruhan. Di mana
dengan proyek Ushul Fikihnya itu, al-Syafi’I telah membangun hampir semua
bangunan konseptual Kalam, Balaghah, hingga Fikih. Di mana ahli-ahli yang
berkecimpung di dalamnya sering kali menggunakan, meminjam, atau sekadar
mengembangkan kajiannya berdasar asumsi-asumsi teoretik yang dikembangkan Ushul
Fikih yang digagas al-Syafi’i. Sehingga menempatkan pengkaji-pengkaji
setelahnya sebagai konsumen pemikiran al-Syafi’i. Yang demikian itu
memperlihatkan posisi penting al-Syafi’I dalam jagat intelektualitas kaum
muslimin.
Sebagai
pengantar, pada bagian pertama tulisan ini akan dipaparkan tentang pengertian,
istilah yang berkaitan, sejarah pertumbuhan, dan karya-karya dalam Mukhtalif
al-Hadîts. Pada bagian kedua penulis hendak membedah kitab Ikhtilâf al-Hadîts, dasar-dasar pemikiran
al-Syafi’I dalam Ikhtilfa al-Hadîts, sebab terjadinya ikhtilaf, metode
penyelesaian al-Syafi’I, contoh-contoh, kontekstualisasi, kemudian ditutup
dengan simpulan.
Dengan mengkaji kitab ini penulis berharap dapat memberikan gambaran
tentang kajian Mukhtalif al-Hadîts yang paling awal, sebab-sebab
terjadinya ikhtilaf, cara-cara penyelesaiannya, khususnya melalui perspektif
al-Syafi’i. Demikian semoga dapat benar-benar menjadi pengantar kajian kita
kali ini.
Pengertian Mukhtalif al-Hadîts
Istilah ini tersusun dari dua buah
kata, “Mukhtalif” dan “al-Hadîts”. Maka sebelum memasuki
pengertiannya yang bersifat teknis dalam Ilmu Hadis, ada baiknya jika kita
telaah terlebih dahulu pengertian kebahasaannya.
Mukhtalif merupakan Ism Fa’il [bentuk
subjek] yang diambil dari kata kerja Ikhtilaf. Kata ini memiliki tiga
huruf dasar kha-lam-fa [k-l-f]. Ibnu Manzhur mengutip
al-Laits dan Ibnu Sidah mengatakan khalfu [dengan sukun pada lam]
berarti kebalikan arah depan [belakang]. Khalafa-Yakhlufu [shara
khalfahu, berada di belakang], ikhtalafahu [akhadzahu min khalfih,
mengambil sesuatu dari belakang], ikhtalafahu, khallafahu, wa akhlafahu [ja’alahu
khalfahu, memposisikan di belakang]. Takhalluf [ta’akkhur,
tertinggal di belakang]. Kata yang diderivasikan dari tiga huruf dasar ini
selalu menyimpan pengertian ‘belakang’, yang kadang secara tidak langsung
melibatkan pengertian ‘depan’ [lawannya] sebagai makna oposisi yang harus
selalu terkait dengannya. Kata-kata turunannya seringkali menunjukkan
terlibatnya ‘depan’, dalam percaturan makna derivatifnya. Sehingga dalam hal
ini timbul pengertian biner antara dua hal; depan-belakang.[4] Posisi biner semacam ini
meniscayakan ketidaksamaan [‘adam al-ittifaq wa al-Tasawi] antara dua
hal itu, keragaman [tanawwu’], dan bahkan adanya saling pertentangan
satu sama lainnya. Ini dapat dilihat pada redaksi QS. al-An’am: 141, Wa
al-Nahkla Wa al-Zar’a Mukhtalifan Ukuluh [Pohon korma, tanam-tanaman yang
bermacam-macam buahnya]. Mukhtalif dalam ayat ini bermakna bermacam-macam.
Yang disebut bermacam-macam tidak lain merupakan dua hal atau lebih yang
antara satu dengan lainnya tidak sama. Contoh lain, Ikhtalafa al-Qaum
[kaum itu berbeda pendapat], yang memiliki pengertian sebagian di antara mereka
mengambil pilihan yang tidak sama [berbeda] dengan pilihan yang lain. Demikian
sekilas pengertian ikhtilaf.
Hadis pada
mulanya berarti lawan dari ‘yang lama’ [baru]. Perkataan disebut Hadis [Muhadatsah
untuk pembicaraan] karena ia diwujudkan dengan cara diucapkan, sehingga
dari yang tadinya tidak ada menjadi ada. Kajian hadis memiliki pengertian
sendiri dalam hal ini. yakni setiap yang disandarkan kepada Nabi baik dalam
bentuk ucapan, perbuatan, kesaksian [taqrir], ciri fisik, karakter
perilaku, sejarah, baik sebelum atau setelah diutus sebagai rasul.[5]
Sedangkan Mukhtalif
al-Hadîts menurut pengertian yang diberikan para ulama mempunyai makna yang
berbeda-beda. Al-Hakim al-Naisaburi [w. 405 H.] menulis dalam bukunya, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadîts,
sebuah karya yang dianggap sebagai literatur pertama dan tertua dalam Ulum al-Hadîts, bahwa Mukhtalif
al-Hadîts adalah,
سنن لرسول الله صلى الله عليه وسلم يعارضها
مثلها فيحتج أصحاب المذاهب بأحدهما وهما في الصحة والسقم سيان
“Sunah-sunah Rasulullah saw. yang bertentangan dengan sesamanya,
lalu para ulama memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya
setara dalam kesahihan dan kelemahannya.”[6]
Sedangkan
al-Nawawi [w. 676 H.], yang hidup beberapa abad
setelahnya, mendefinisikannya dengan,
أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق
بينهما او يرجح أحدهما
“Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu
dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.”[7]
Pada beberapa
abad berikutnya, al-Suyuthi [w. 911 H.] mendefinisikan dengan,
حديث قد أباه اخر# فالجمع إن أمكن لاينافر
“Hadis yang
ditolak oleh hadis lain, yang bila mungkin hendaknya di-jam’u.”[8]
Pengertian-pengertian yang penulis kutip di atas memiliki beberapa titik
persamaan. Sebagian memberikan penjelasan yang tidak diberikan oleh yang
lain. Kesamaan masing-masing definisi itu di antaranya [1] adanya pertentangan
antara dua hadis, dan [2] cara penyelesaian yang ditawarkan. Menurut definisi
al-Hakim, dua hadis yang bertentangan di sini harus memiliki kesetaraan dalam
kesahihan dan kelemahan. Jika tidak setara maka tidak dapat disebut sebagai
hadis mukhtalif. Sekalipun keduanya bertentangan. Semisal hadis sahih
bertentangan dengan hadis yang lemah. Hanya pertentangan antara hadis sahih
dengan hadis sahih lainnya, atau hadis yang lemah dengan hadis lemah lainnyalah
yang dapat disebut Mukhtalif. Pengertian ini tentu saja tidak didapatkan
dalam dua pengertian terakhir. Pengertian semacam ini tentu akan berbeda dengan
pengertian yang dibawakan oleh pakar kontemporer Mahmud al-Thahhan seperti akan
dijelaskan di bawah yang menegaskan kedua hadis itu harus maqbul
[diterima], yang tentu saja harus berstatus sahih. Sehingga pertentangan yang terjadi
antara dua hadis yang lemah-tidak diterima [dha’if-ghairu maqbul]
tidak disebut Mukhtalif. Berbeda dengan definisi al-Hakim yang masih
memberikan ruang bagi pertentangan hadis lemah. Padahal, menurut kaidah
umumnya, hadis yang tidak diterima harusnya dimasukkan ke tempat sampah.
Sedangkan dari definisi al-Nawawi dapat ditarik pemahaman tentang bentuk pertentangan
yang dimaksud. Yakni pertentangan yang tidak mungkin dipertemukan [tadhadud]
menurut pengertian lahiriahnya. Jadi menyisakan pengertian hakikinya yang masih
dimungkinkan dapat dipertemukan. Kemungkinan inilah yang akhirnya memunculkan
solusi-solusi penyelesaian berupa taufiq atau tarjih. Sedangkan
definisi al-Suyuthi terkesan lebih luas karena tidak menjelaskan
kesetaraan kesahihan dua hadis, dan seperti apa bentuk pertentangannya. Dengan
demikian dimungkinkan pertentangan itu berasal dari dua hadis yang berbeda
status kesahihannya, dan pertentangan yang ada bersifat hakiki. Bukan sekadar
lahiriahnya. Hal ini berkonsekuensi pada dimasukkan hadis Mudhtharib
dalam kategori Mukhtalif. Karena, ketika kontradiksi antara dua hadis
bersifat hakiki tentu saja akan meniscayakan ketidakmungkinan jam’u.
Untuk penyelesaian, di sini al-Suyuthi hanya menawarkan satu cara. Yakni
melalui metode jam’u. Untuk cara penyelesaian akan diuraikan dalam
pembahasan tersendiri.
Kemudian untuk menutupi kekurangan yang ada dalam pengertian di atas, pakar
hadis kontemporer memberikan pengertian yang lebih definitif. Mahmud al-Thahhan
mengatakan,
الحديث المقبول المعارض بمثله مع إمكان الجمع
“Hadis yang diterima yang dipertentangkan dengan sesamanya
disertai adanya kemungkinan jam’u.”[9]
Ajjaj
al-Khatib memberikan pengertian,
العلم الذي يبحث في الاحاديث التي ظاهرها متعارض
فيزيل تعارضها أو يوفق بينهما كما يبحث في الاحاديث التي يشكل فهمها أوتصورها
فيدفع إشكالها ويوضح حقيقتها
“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahiriahnya bertentangan,
lalu dihilangkan sisi pertentangannya atau di-taufiq antara keduanya,
sebagaimana dibahas tentang kejanggalan pemahaman atau penggambaran atas
hadis-hadis, lalu ditolak kejanggalannya dan dijelaskan hakikat sebenarnya.”[10]
Pengertian yang diberikan Thahhan sekalipun lebih jelas dengan menyebutkan
sisi diterimanya dua hadis yang bertentangan, yang secara tidak langsung
menunjukkan kesahihannya, disertai adanya kemungkinan jam’u yang tentu
saja dalam hal ini mengecualikan hadis Mudhtharib, karena tidak
menyisakan ruang untuk jam’u, namun tidak dijelaskan solusinya.
Sekalipun demikian, pengertian ini lebih mendekati standar pembuatan definisi
yang melarang dimasukkannya hal-hal di luar hakikat objek yang didefinisikan.
Solusi merupakan sesuatu yang berada di luar bentuk hadis yang menjadi objek
kajian kita. Atas dasar
inilah penulis memilih definisi yang dibawakan Mahmud al-Tahhan di atas sebagai
cara pandang terhadap Mukhtalif al-Hadits.
Sedangkan Ajjaj al-Khathib telah membahas Mukhtalif al-Hadîts
sebagai sebuah ilmu. Sebuah kajian yang menempatkan hadis-hadis bermasalah
sebagai objeknya. Permasalahan yang dimaksud di sini adalah pertentangan
lahiriah yang dikandung olehnya untuk dihilangkan dengan cara-cara tertentu.
Ajjaj juga membedakan Mukhtalif al-Hadîts dari Musykil al-Hadîts. Di
mana untuk yang kedua, problemnya adalah kejanggalan yang timbul dari proses
memahami beberapa hadis. Kemudian asumsi akan adanya
kejanggalan itu ditolak dengan cara dijelaskan hakikat yang dimaksud darinya.
Pengertian yang dibawakan Ajjaj lebih general, dan hampir sama dengan definisi
yang ditawarkan al-Suyuthi dan al-Nawawi yang tidak membedakan derajat
kesahihan.
Dari seluruh definisi yang ditawarkan di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan; [1] terjadi pertentangan yang melibatkan dua hadis, [2]
pertentangan bersifat lahiriah, [3] pertentangan itu diselesaikan dengan
beberapa cara.
Istilah-Istilah Semakna
Sebagaimana sedikit
disinggung dalam pembahasan sebelumnya, terdapat beberapa istilah yang memiliki
keterkaitan dengan Mukhtalif al-Hadîts. Di antaranya adalah Ikhtilâf al-Hadîts, Musykil al-Hadîts, Ta’wil
al-Hadîts, dan Ta’arudh al-Ahadits [Ta’arudh al-Adillah].
Sekalipun memiliki pengertian yang sama,[11] namun spesifikasi makna dan ragam istilah perlu dikemukakan di sini.
Ikhtilâf al-Hadis merupakan terminologi yang dipakai olah
al-Syafi’I, sekaligus menjadi nama bagi karyanya dalam bidang Mukhtalif
al-Hadîts. Perbedaan keduanya adalah digunakannya bentuk Mashdar untuk
karya al-Syafi’I dan Isim Fa’il dalam terminologi yang kita pakai. Namun
substansi keduanya adalah sama. Sedangkan Musykil al-Hadîts merupakan
nama kitab karya Ibnu Faurak. Musykil merupakan bentuk subjek [Shighat
Fa’il] dari kata Isykal. Isykal merupakan bentuk derivatif
dari kata Syakl yang berarti al-Syibhu wa al-Mitsl [kesamaan].
Dari sini dapat dipahami bahwa Syakl yang berarti gambar adalah karena
adanya kesamaan antara sesuatu dan gambarnya. Sehingga gambar sesuatu disebut Syaklu
al-Syai. Suatu gambar atau bentuk dapat bersifat konkret atau abstrak.
Jalan bercabang dalam bahasa Arab disebut Thuruq dzu al-Syawakil karena
antara satu cabang jalan dan cabang yang lain terlihat sama. Tasyakkala al-Syai
berarti mengimajinasikannya. Sedangkan menggambarkan sesuatu biasa
diungkapkan dengan kata Syakkala al-Syai. Sedangkan kata Asykala memiliki
pengertian penggambaran yang penuh dengan kejanggalan.[12] Dengan demikian, kemusykilan
adalah penggambaran yang mengandung kejanggalan karena adanya
kesamaan-kesamaan. Jika diterapkan dalam kontek penalaran hadis, maka penggambaran
penuh dengan kejanggalan itu yang dapat disebabkan dan menyebabkan kontradiksi
antar hadis yang berlainan. Satu hadis sepertinya menunjukkan objek yang sama
dengan yang ditunjuk oleh yang lain, namun penunjukan keduanya berasal dari
sisi yang berbeda sehingga muncul kontradiksi. Adanya kontradiksi ini
menujukkan kesamaan substansi antara Musykil al-Hadîts dan Mukhtalif
al-Hadîts.
Ta’wil al-Hadîts
merupakan
judul karya Ibnu Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadîts. Penggunaan kata Ta’wil
yang semakna atau bahkan lebih spesifik dari sekadar tafsir menunjukkan
proses lanjutan dari Mukhtalaf al-Hadîts yang merupakan bagian dari
solusi yang ditawarkan. Jika sebelumnya sempat disinggung tentang jam’u
dan taufiq, Ibnu Qutaibah memperkenalkan Ta’wil sebagai nama
teorinya.[13]
Sedangkan Ta’arudl
al-Ahadits merupakan terminologi yang banyak dipakai oleh kalangan Fikih
dan Ushul Fikih. Ia menjadi bagian dari kajian Ta’arudl al-Adillah [pertentangan
antar dalil]. Pengertian kebahasaan Ta’arudl memiliki kesamaan dengan Musykil.
Dari penelusuran akar kata, ditemukan arti menahan [al-Man’u], tampak
jelas [al-Zhuhur], baru wujud [Hudust Ba’da ‘Adam], perbandingan
[al-Muqabalah], kesamaan [al-Musawah wa al-Mumatsalah].[14] Al-Imam
al-Dimyathi, dalam catatannya pada Syarah al-Waraqat karya Jalaluddin
al-Mahalli, menulis bahwa Ta’arudl diambil dari ‘aradla ya’rudlu
yang berarti baru datang. Sedangkan Ta’arudl dengan mengikuti wazan
derifatif Tafa’ul yang bermakna khas terlibatnya dua subjek sekaligus
dalam satu pekerjaan semakna dengan kata Tawarudl [saling berdatangan].
Lebih jelasnya, al-Dimyathi mengatakan,
التوارد بين معنيين
مختلفين على محل واحد
“Hadirnya dua pengertian yang saling bertentangan dalam
menjelaskan satu hal.”[15]
Jika ditarik dalam kajian kita, maka pertentangan itu terjadi antara pengertian
dua hadis yang menjelaskan satu hal yang sama. Yang patut dicatat di sini
adalah penegasan pada “pengertian”, bukan redaksi suatu hadis. Hal ini
menunjukkan bahwa pertentangan itu bukan secara hakiki, atau bisa disebut
sebatas lahir-zahiri redaksi saja. Dengan demikian, definisi ini memiliki titik
kesamaan dengan definisi para Ahli Hadits yang menekankan pertentangan yang
terjadi hanya sebatas lahiriah hadis.
Sejarah Pertumbuhan dan Karya-Karya dalam Mukhtalif al-Hadîts
Pada bagian
pendahuluan telah disinggung sedikit tentang karya berikut tokoh yang terlibat
dalam kajian Mukhtalif al-Hadîts. Agar tidak mengulang, penulis
hanya akan menyuguhkan faktor yang mendorong sang tokoh menuliskan karyanya. Di
sini penulis meminjam model kritik Mohamed Abed al-Jabiri, yakni kritik
struktural [al-Tharhu al-Binyawi], kritik sejarah [al-Tharhu
al-Tarikhi], dan kritik ideologi [al-Tharhu al-Aidiyuluji]
sekaligus.[16]
Sebagaimana disebut di awal, karya pertama dalam Mukhtalif al-Hadîts
adalah Ikhtilâf al-Hadîts karya
al-Imam al-Syafi’i [w. 204 H.]. Mengapa menggunakan Ikhtilâf al-Hadîts? Apakah ada hadis Nabi saw.
yang berbeda dan bertentangan? Ikhtilâf
memiliki pengertian ragam, berlainan, namun dalam tataran wacana [di luar
teks] antara satu dan lainnya memiliki kesamaan, sehingga membuat seorang
pengamat kesulitan memahami secara tepat. Kerancuan pemahaman inilah yang
menjadi sasaran kerja Ikhtilâf al-Hadîts.
Berdasar keyakinan bahwa sejatinya hadis-hadis tidak ada yang bertentangan selama
semua valid berasal dari Nabi. Namun persoalan ini menjadi runyam ketika hadis
harus berhadapan dengan beragam bentuk penalaran. Terutama yang mengklaim diri
sebagai rasional, baik dari kalangan fukaha maupun mutakalimin. Di mana mereka
menolak hadis-hadis Nabi dengan berbagai argumentasi, variasi, dan tingkat penolakannya. Mereka inilah yang sering disebut kelompok Inkar al-Sunnah. Terlihat
secara jelas di mana posisi al-Syafi’i, yakni beliau mencoba membela eksistensi
hadis sebagai bagian dari syariah. Dalam konstruksi Ushul Fikihnya, al-Syafi’if
menempatkan hadis [sunah] pada posisi yang sangat terhormat, tepat satu tingkat
di bawah al-Quran sebagai sumber ajaran Tuhan yang paling otentik dan
otoritatif. Ikhtilâf Hadîts berada pada posisi ini.
Di satu sisi menegaskan eksistensi hadis, menyerang musuh-musuh hadis, dan
membangun perspektif [ideologis] fikih. Hampir seluruh contoh yang dibawakan
al-Syafi’i dalam karya ini memiliki dimensi hukum-fikih. Terdapat lima
bagian [juz], di mana dalam setiap bagian al-Syafi’i mencoba menyelesaikan
hadis-hadis yang menurut pengertian lahiriahnya bertentangan satu sama lain.
Dan semua terkait dengan persoalan hukum. Corak ini tentu saja berbeda dengan
yang melatari kemunculan Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts Wa al-Radd ‘Ala Man Yurîbu
Fi al-Akhbâr al-Mudda’a ‘Alaihâ al-Tanâqudl [Takwil Hadis-Hadis
Kontradiktif dan Bantahan atas Orang yang Ragu pada Khabar yang Dituduh Saling
Bertentangan] di tangan Ibnu Qutaibah [w. 276 H.]. Sekalipun hidup pada masa
yang sama, namun memiliki proyek ideologis yang sedikit berbeda. Hal ini terkait
lawan yang dihadapi Ta’wîl Mukhtalif. Mereka adalah kelompok kalam, yang
selain meninggikan rasionalitas Yunani di satu sisi, juga menjatuhkan
kewibawaan ‘tradisi’ yang menjadi sumber ajaran kaum muslimin. Ibnu Qutaibah
menulis,
وقد تدبرت رحمك الله مقالة
أهل الكلام فوجدتهم يقولون على الله مالا يعلمون ويفتنون الناس بما يأتون ويبصرون
القذى في عيون الناس وعيونهم تطرف على الأجذاع ويتهمون غيرهم في النقل ولا يتهمون
آراءهم في التأويل ومعاني الكتاب والحديث وما أودعاه من لطائف الحكمة وغرائب اللغة
لا يدرك بالطفرة والتولد والعرض والجوهر والكيفية والكمية والأينية ولو ردوا
المشكل منهما إلى أهل العلم بهما وضح لهم المنهج واتسع لهم المخرج ولكن يمنع من
ذلك طلب الرياسة وحب الأتباع
“Aku telah menelaah pendapat-pendapat ahli kalam. Aku menjumpai mereka
berkata tentang Allah dengan sesuatu yang mereka tidak tahu, dan menebar
kekacauan kepada masyarakat dengan segala apa yang mereka bawa. Mereka melihat
di mata masyarakat terdapat kotoran, padahal mata mereka tertusuk pohon kurma.
Mereka menuduh selainnya telah melakukan kesalahan dalam menukil informasi dari
Nabi, tapi mereka tidak curiga sama sekali pada pendapatnya dalam menakwilkan
dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis Nabi, kandungan
kebajikannya, serta keindahan bahasanya yang tentu saja tidak dapat diperoleh
melalui lompatan [tanpa pentahapan], teori tawallud, ‘aradl [sifat], jauhar
[substansi wujud], kaifiyah [proses], kammiyah [kuantitas], ainiyah [ruang].
Andai saja mereka mengembalikan persoalan itu kepada orang yang berilmu, maka
teranglah jalan dan lapanglah pintu keluar
bagi mereka. Tapi nafsu berkuasa dan memperoleh banyak pengikut telah
menguasai mereka...”[17]
Terlihat bagaimana Ibnu Qutaibah menyerang musuh-musuhnya dari kalangan
kalam. Jika al-Syafi’i mencoba menjaga eksistensi hadis dari serangan fukaha
rasionalis [?, terutama], maka Ibnu Qutaibah berusaha menahan serangan yang
dilancarkan kelompok kalam. Kedua tokoh ini memiliki problematik [Isykâliah] yang sama. Yakni menjaga eksistensi dan kewibawaan hadis. Sekalipun lawan
dan cara kerja
masing-masing dalam menggadapinya tidak sama. Inilah yang
menjadikan metode penulisan dan masa’il yang dikaji kedua karya itu
berbeda, namun memiliki problematik yang sama. Kecintaan kepada hadis mendorong Ibnu Qutaibah menuliskan
karyanya itu, sekalipun banyak yang mengkritik kapasitas intelektualnya. Seperti
Al-Nawawi yang mengatakan, “Dia mencantumkan hadis-hadis yang baik, dan yang
tidak baik, karena ada riwayat yang lebih utama dan lebih kuat selain yang
dipakainya itu [menunjukkan kapasitas intelektualnya]. Dia juga meninggalkan banyak
hadis-hadis yang mukhtalaf tanpa mengkajinya [karena terfokus pada hadis-hadis
yang berkaitan dengan problem teologi].”[18]
Fokus pada hadis-hadis akidah berakibat pada terabaikannya dua hal
sekaligus; ketelitian pada kesahihan dan terabaikannya banyak hadis ‘bermasalah’.
Problematik ini pada seratus tahun berikutnya disadari oleh al-Thahawi [w. 321 H.] dengan
karyanya, Syarhu Musykil al-Âtsar [Penjelasan Atsar-Atsar Bermasalah]. Sebagaimana
dapat dilihat pada alasan penulisan karya tersebut, di mana beliau berkata,
وإني نظرت في الاثار المروية عنه صلم بالاسانيد
المقبولة التي نقلها ذوو التثبت فيها والامانة عليها وحسن الاداء لها فوجدت فيها
أشياء مما يسقط معرفتها والعلم بما فيها عن أكثر الناس فمال قلبي إلى تاملها
وتبيان ما قدرت عليه من مشكلها ومن استخراج الاحكام التي فيها ومن نفي الاحالات
عنها وأن أجعل ذلك أبوابا...
“Aku melihat atsar-atsar yang
bersumber dari Nabi saw. telah disampaikan dengan sanda-sanad yang diterima,
dinukil oleh orang-orang yang serius menelitinya, penuh tanggung jawab, dan
menggunakan metode yang baik. Aku mendapati banyak yang luput dan tidak
diketahui kebanyakan orang. Hatiku tergerak untuk merenunginya, menjelaskan apa
yang janggal sesuai kadar kemampuanku, mengeluarkan hukum yang dikandungnya,
dan menegasikan ketidak-mungkinan yang ada di dalamnya, dan mengkajinya secara
perbab...”[19]
Al-Thahawi mengawali dari ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan pada
kajian hadis. Pada abad keempat hijriah perdebatan kalam masih terlalu ramai.
Tokoh-tokoh yang memiliki keterkaitan ‘ideologis’ dengan kaum hadis, menggunakan
cara yang beraneka ragam untuk menolak serangan musuh-musuhnya. Tentu saja
seluruh kekayaan khazanah yang ada merupakan warisan era tadwin pada dua
abad sebelumnya. Di mana dalam formulasinya yang telah mapan, ilmu-ilmu yang
berkembang pada abad ini menjadi kelanjutan dari problem-problemnya. Selain
warisan ilmu [metodologi, epistemologi] juga warisan problem-problem yang
banyak ditunggangi aspek ideologis.
Al-Thahawi berdiri pada barisan pembela sunnah, yang secara garis besar
merupakan pelanjut al-Syafi’i dalam ranah fikih, dan Ibnu Qutaibah dalam
wilayah kalam. Di mana dalam kedua zona tersebut, al-Thahawi mengambil posisi ahli
hadis. Dengan posisi ideologis semacam ini, al-Thahawi berusaha menghadapi dua
lawan sekaligus; ahli kalam pembuat bid’ah dan ahli fikih yang anti hadis.
Sekalipun demikian, al-Thahawi tidak merasa perlu menggunakan bahasa yang ‘berlebihan’ dan keras, karena pada
masa ini kuasa wacana kaum rasional mulai melemah. Munculnya orang-orang
berideologi ahli hadis dengan memakai jubah rasionalis-kalam merupakan amunisi
besar yang meluluh lantakkan keberadaan mereka. Di Bashrah muncul Abu al-Hasan
al-Asy’ari [w. 324/335 H.] bekas didikan Mu’tazilah, dan Abu Manshur
al-Maturidi [w. 333 H.] seorang yang dekat dengan mazhab Abu Hanifah di Samarkand,
ditambah Abu Ja’far al-Thahawi di Mesir. Dengan memahami posisi al-Thahawi
semacam ini, kita dapat membaca dengan jelas konteks kitab Syarhu
Musykil al-Âtsar, mengapa atsar-atsar yang bermasalah itu
perlu dijelaskan? Dengan paradigma seperti apa akan dijelaskan? Atas
kepentingan apa? Ketiga pertanyaan ini merupakan formulasi tiga bentuk
kritik ala Mohamed Abed al-Jabiri yang coba penulis ajukan.
Dua abad setelahnya, muncul Kitab Musykil al-Hadîts Au Ta’wîl al-Akhbâr
al-Mutasyâbihah karya Ibnu Faurak [w. 406 H.] yang menggunakan pendekatan
yang sama dengan yang dipakai Ibnu Qutaibah. Sekalipun dengan kondisi psikologi
masa, sekaligus tantangan yang berbeda. Karena pada abad tersebut, mazhab
pemikiran kaum muslimin telah benar-benar mencapai tahapnya yang stagnan. Kaum
rasionalis tidak terlalu kuat, jika dibandingkan dengan sebelumnya. Baik secara
politis maupun kebertahanan ideologisnya. Yang justru menguat adalah gerakan
literalis ahli hadis yang hendak merespon rasionalisme Mu’tazilah yang masih
meninggalkan basis epistemisnya dalam lingkungan muslimin. Bahkan epistemologi
yang mereka kembangkan telah diadopsi oleh kelompok-kelompok yang tadinya
menjadi musuh mereka; Syiah dan Ahlusunnah. Orang-orang Syiah semakin
rasional-mistis [tradisi irfani] dan orang Sunni bertambah rasional-literal
[tradisi bayani]. Ibnu Faurak mencoba membawa wacana hadis kepada penguatan
sendi-sendi rasional-literal, bukan literal-irasional sebagaimana yang
dikembangkan kelompok Mujassimah-Musyabbihah. Perdebatan kembali ke dalam
wilayah kalam dengan pemeran sesama kaum hadis. Kitâb karya Ibnu Faurak
ini menginginkan agar Musykil al-Hadîts yang berkaitan dengan persoalan antropomorfisme
[kesamaan Tuhan dengan makhluk-Nya [al-Tasybîh]] segera kembali ke rel
yang semestinya melalui metode Ta’wil. Hampir seluruh bagian kitab ini
merujuk pada perdebatan sekitar hadis-hadis yang dapat memberikan kesan antropomorfisme.[20]
Ini merupakan serangan besar-besaran terhadap kelompok Musyabbihat.
Demikian sekelumit sejarah Mukhtalif al-Hadîts, di mana melalui
penelusuran semacam ini dapat dibaca secara jelas latar belakang kajian ini,
melalui bangunan pengetahuan [binyah ma’rifiyah], historisitas [tarikhiyyah],
sekaligus ideologi [aidiyulujiyyah] yang menggerakkannya. Dan terlihat
jelas pula bagaimana peran al-Syafi’i dalam mengukuhkan hadis sebagai bagian
integral syariah, terutama dalam ranah fikih, melalui teoritisasi Ushul
Fikihnya. Proyek Nashrusunnah ini secara khusus diwujudkan oleh
al-Syafi’i melalui karyanya Ikhtilâf al-Hadîts.
Sehingga menjadi keharusan bagi kita untuk menelaahnya.
Mukhtalif al-Hadîts dalam Pemikiran al-Syafi’I;
Dari Khabar Ahad Menuju Ikhtilâf
Ikhtilâf al-Hadîts hadir di tengah-tengah al-Syafi’i melakukan pembakuan syariah melalui al-Risalah, sebuah
teorititasi pertama dalam metode penalaran berdasar sumber-sumber syariah. Proyek
teorititasi fikih
melebarkan sayapnya dengan menggaet hadis sebagai bagian yang tak terpisahkan. Al-Syafi’I
mengatakan, “Allah telah menempatkan Rasul-Nya pada posisi pengemban amanah
untuk menyampaikan semua yang diwajibkan yang terkandung dalam kitab-Nya.
Kemudian menyerahkan kepada kebijaksanaan lisan Nabi-Nya. Walaupun apa yang
diwajibkan melalui lisan Rasul-Nya tidak terdapat dalam kitab-Nya, namun Dia
menjelaskan bahwa Rasul-Nya akan menunjukkan kepada umat jalan yang lurus.
Yakni jalan Allah. Kemudian Dia mewajibkan kepada seluruh manusia untuk
mentaatinya, memerintahkan mereka untuk mengambil apa yang dibawanya, dan
menghentikan segala perbuatan yang dilarangnya. Kewajiban yang ditetapkannya
berlaku atas semua orang yang melihatnya, dan generasi setelahnya hingga hari
kiamat adalah satu [sama]. Dan bagi orang yang tidak melihatnya berkeharusan
mendapatkan khabar darinya.”[21]
Kepatuhan kepada Rasul setara dengan kepatuhan kepada Tuhan. Ketika Tuhan tidak
memberikan ketentuan dalam kitab suci-Nya, manusia berkewajiban mencari
petunjuk dari Rasul. Kewajiban ini merupakan keniscayaan teologis karena Tuhan
memerintahkan kita untuk mematuhi perintah utusan-Nya. Perintah utusan yang
pada dasarnya ucapan manusia biasa, meningkat pada level yang lebih tinggi dan
setara dengan firman Tuhan. Mencari petunjuk utusan merupakan keharusan. Setara
dengan keharusan mencari petunjuk Tuhan.
Pencarian
petunjuk dari utusan tidak lain dengan cara merujuk kepada ucapan, tindakan,
dan ketetapan Nabi, baik secara langsung atau melalui informan perantara. Informan
dapat terdiri dari satu orang [Ahad] atau lebih [masyhur, mutawatir]. Dalam
polemik dengan lawannya, al-Syafi’I mengatakan, “Dikatakan bahwa ada dua
macam berita dari Rasulullah; berita sekelompok orang dari sekelompok orang
dari Nabi yang berisikan kewajiban bagi hamba Allah agar mereka menjalankannya
dengan ucapan berikut tindakan. Dengan menggunakan badan dan harta mereka. Berita
semacam ini tidak mungkin tidak diketahui. Orang berilmu dan tidak berilmu
dalam hal ini sama saja. Karena semua dibebani kewajiban oleh Allah. Seperti
shalat, puasa Ramadan, haramnya ucapan kotor, hak Allah dalam harta mereka. Dan
berita khusus dalam persoalan tertentu yang mana Allah tidak membebankan kepada
banyak orang. Ia datang tidak seperti jenis berita sebelumnya. Orang yang
memiliki cukup kecakapan saja yang diberi beban mengetahuinya. Hanya untuk
orang-orang tertentu. Tidak semuanya. Seperti keharusan sujud sahwi sebagai
ganti bagian ritual yang salah, bagian mana yang harus diganti dengan sujud
sahwi… dan lainnya yang tidak dijelaskan oleh al-Kitab. Berita jenis inilah
yang menurut kami harus diterima oleh para ulama jika yang membawanya jujur dan
tidak diperkenankan bagi mereka menolaknya. Seperti ketidakbolehan menolak
saksi-saksi yang sah diterima persaksiannya.”[22]
Pada bagian
awal Ikhtilaf, al-Syafi’I menitik beratkan kepada keabsahan berita
perorangan [khabar ahad] sebagai dasar ajaran. Beragam argumentasi
disuguhkan untuk meneguhkan nilai argumentatif, otoritas, dan keabsahan
penggunaan khabar ahad. Paling tidak terdapat dua model argumen yang
dipakai al-Syafi’I; al-Quran dan tradisi pada masa Nabi, serta yang tengah
berlangsung dalam tradisi intelektual zamannya.[23]
Pada sebagian
kasus, al-Quran menerima informasi dari satu-dua orang. Namun tidak demikian
pada kasus yang lain. Al-Quran memberikan batasan tentang jumlah informan yang
diterima. Semua yang ditampilkan al-Quran berada dalam konteks kesaksian [syahadah].
Dua orang saksi laki-laki, satu orang saksi laki-laki ditambah dua orang saksi
perempuan, empat orang saksi laki-laki, dan lainnya merupakan formasi saksi
yang dikenalkan al-Quran. Seluruh kesaksian di atas diterima sekalipun
bersumber dari satu-dua orang [ahad]. Kecuali dalam kesaksian zina yang
mengharuskan minimal empat orang saksi laki-laki, di mana bilangan tersebut
menjadi wilayah perdebatan apakah masih bersifat perorangan atau sudah masuk
dalam kategori mutawatir.[24]
Yang perlu dicatat di sini adalah penerimaan kesaksian perorangan oleh
al-Quran. Artinya, al-Quran melegalkan praktik tersebut.
Jika al-Quran
menerima informasi perorangan dalam persoalan kesaksian, apakah penerimaan juga
terjadi dalam periwayatan? Kesaksian dan periwayatan tentu saja memiliki perbedaan
di samping kesamaan. Kesaksian lebih kental dimensi hukumnya sedangkan riwayat
tidak demikian. Namun keduanya memiliki titik kesamaan dalam penyampain informasi
kepada orang lain. Al-Quran tidak memberikan penjelasan tentang periwayatan.
Sehingga diperlukan usaha lebih lanjut untuk mengetahui legalitas informasi
perorangan. Melihat sisi kesamaan antara keduanya, periwayatan dapat
dianalogikan pada kesaksian. Terlebih praktik penerimaan informasi perorangan
sudah terjadi sejak masa Nabi. Nabi sering menyampaikan suatu ajaran kepada
satu orang, agar disampaikan kepada yang lain. Nabi banyak mengutus
orang-perorang kepada kabilah-kabilah Arab. “Kami melihat petunjuk Nabi
menyarankan agar kami menerima informasi perorangan. Maka menjadi keharusan –wa
allahu a’lam- menerima informasi semacam itu. Jika sang informan merupakan
orang yang jujur, sama seperti keharusan menerima informasi dari
beberapa orang dalam kasus kesaksian.”[25]
Al-Syafi’I
menggunakan dua argumen sekaligus; tradisi Nabi dan analogi. Dengan demikian,
bisa dipahami bahwa al-Syafi’I mengembangkan informasi perorangan sebagai basis
ajaran yang wajib diikuti, setara dengan ajaran yang diriwayatkan secara mutawatir.
Ini menegaskan posisi al-Syafi’I dalam persoalan hadis ahad yang tentu berbeda
dengan aliran Zhahiriah, Malikiyah, Hanafiyah, al-Karkhi, dan lainnya.[26]
Untuk itu al-Syafi’i mengatakan “Dalam konteks ini terdapat petunjuk atas apa yang saya
katakan terkait informasi yang bersumber dari Rasulullah dapat berdiri sendiri
[yastaghni bi nafsih]. Ia tidak membutuhkan argumentasi lain, dan tidak pula perlu
ditambahkan oleh yang lain jika memang keduanya sepakat. Juga tidak akan merendahkan
hadis ahad jika argumentasi yang lain berbeda dengannya. Seluruh umat
membutuhkannya. Informasi dari Rasulullah wajib diikuti, dan tidak harus
mengikuti [yang lain, semisal praktik yang telah berlangsung di masyarakat
[ulama]]. Keputusan sebagian sahabat Nabi bila bertentangan dengannya, maka
umat hendaknya beralih kepada informasi Nabi tersebut, dan meninggalkan
keputusan yang bertentangan dengannya.”[27]
Al-Syafi’I
menambahkan, “Praktik penerimaan khabar ahad merupakan keharusan. Para
tabi’in senior seperti Ibnu Syihab, Yahya bin Sa’id, Amr bin Dinar, dan
lainnya, serta ulama-ulama yang kami temui, semua menerima khabar yang
bersumber dari satu orang, dari satu orang lainnya, dari Nabi saw. Mereka menjadikan
itu sebagai tradisi [sunnah]. Terpuji orang yang mengamalkannya, dan tercela
orang yang menentangnya.”[28]
Kalimat ini
menegaskan bahwa penerimaan berita perorangan merupakan tradisi yang berkembang
sejak masa Nabi hingga masa ulama yang hidup sezaman dengan al-Syafi’I yang
tentunya harus diterima bulat-bulat.
Ragam Kontradiksi
Penerimaan khabar
ahad di tangan al-Syafi’i bukan berarti bebas dari masalah. Persoalan baru yang muncul
adalah kontradiksi dalam khabar ahad. Kontradiksi di
sini mempunyai bentuk yang beragam. Kontradiksi bisa terjadi antar khabar ahad atau
antara khabar ahad dan khabar yang berstatus lebih kuat-mutawatir
seperti al-Quran.[29]
Al-Syafi’i menilai kontradiksi antar dalil lebih
disebabkan pemahaman terhadap dalalah yang kurang tepat. Orang Arab
punya kebiasaan menggunakan ungkapan general [‘am] dengan pengertian
generalnya, redaksi general
dengan pengertian spesifik [khas]. Tuhan menggunakan bahasa orang Arab
sebagai media penyampaian ajaran-Nya. Dan Tuhan menugaskan rasul-Nya
untuk menjelaskan apakah sebuah wahyu yang bersifat umum tetap dalam
keumumannya atau hanya redaksinya saja yang umum, sedang pengertiannya khusus. Penjelasan
rasul harus diikuti sebagaimana penjelasan dari Tuhan itu sendiri.
Kontradiksi antara satu ayat dan ayat lainnya
Al-Syafi’I memberikan beberapa
contoh. Salah satunya,
فإذا انسلخ الأشهر الحرم فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم
“Apabila sudah
habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana
saja kamu jumpai mereka” [QS. al-Taubah [9]: 5]
وقاتلوهم
حتى لا تكون فتنة ويكون الدين كله لله
“Dan perangilah mereka,
supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. [QS. al-Anfal [8]: 39]
Pengertian
literal kedua ayat di atas menunjukkan bahwa perang ditujukan kepada seluruh
orang musyrik. Baik Ahli Kitab atau bukan. Baik musyrik yang menjadi kawan atau
lawan. Perang dilancarkan hingga mereka masuk Islam atau binasa. Kemudian Allah
menurunkan ayat,
قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله
ولا باليوم الآخر ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون دين الحق من الذين أوتوا
الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh
Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),
(Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” [QS. al-Taubah [9]: 29]
Allah memerintahkan perang terhadap seluruh kaum musyrikin hingga mereka
masuk Islam. Namun dalam ayat ini, Allah memberikan kebebasan kepada sebagian
dari mereka. Yakni kaum musyrikin ahli kitab dengan syarat membayar jizyah. Artinya
tidak semua kaum musyrikin dibunuh. Sebagian dari mereka tetap diizinkan hidup.
Pemahaman ini didukung oleh praktik Nabi saw. yang memilah antara musyrikin
penyembah berhala [watsani] dan ahli kitab. Di mana Nabi memberikan
pilihan yang berbeda, dibunuh atau masuk Islam untuk kaum watsani dan
dibunuh, masuk Islam, atau tetap hidup dalam agamanya namun harus membayar
jizyah bagi ahli kitab. Ini menunjukkan bahwa yang dikehendaki Tuhan dari dua
ayat pertama adalah pengertiannya yang khusus. Sekalipun redaksi yang digunakan
bersifat umum. Dalam kaidah ushul fikih, prinsip semacam ini sering disebut al-‘am
yuradu bihi al-khash [dalil umum namun pengertian khusus yang dikehendaki].[30] Jika
diketahui bahwa sebuah perintah berdimensi umum namun mencakup persoalan yang
terbatas, maka kita tidak perlu menggunakan pendekatan nasikh-mansukh
yang akan berdampak pada pengguguran salah satu dalil. Karena, dengan
menggunakan pendekatan al-‘am yuradu bihi al-khushush kita dapat menggunakan dua buah dalil
sekaligus. Tanpa mengenyampingkan salah satunya. Dan terdapat banyak ayat yang
sama dengan contoh di atas.
Kontradiksi antara hadis
dan ayat al-Quran
Dalam contoh di atas, al-Syafi’i memperlihatkan bahwa kontradiksi bisa
terjadi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Dan al-Syafi’i menawarkan dua
model penyelesaian; al-‘am yuradu bihi al-khushush dan nasakh. Dalam
konteks ini, al-Syafi’i menggunakan hadis sebagai penjelas bahwa yang
dikehendaki dari dua ayat pertama bersifat khusus. Dalam konteks nasakh al-Syafi’i
konsisten dengan tidak memperbolehkan hadis menjadi pe-nasakh bagi
al-Quran. Sebagaimana contoh,
والسارق والسارقة فاقطعوا
أيديهما
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” [QS. al-Maidah [5]: 38]
Pengertian literal ayat ini menunjukkan hukuman bagi semua bentuk pencurian
adalah potong tangan. Tidak ada pembatasan [taqyid] apapun yang dicantumkan di sini. Pada kenyataannya, Nabi tidak memotong
seluruh pencuri. Bahkan Nabi mengatakan,
تقطع اليد في ربع دينار فصاعدا
“Tangan hanya dipotong dalam
pencurian barang senilai seperempat dinar ke atas.”
Pembatasan
ini tidak dapat dipahami bahwa Nabi melanggar perintah Allah. Sebaliknya,
pemahaman yang tepat adalah memposisikan Nabi sebagai penjelas bagi kandungan
ayat. Sama seperti kontradiksi literal antar ayat di atas, kontradiksi antara
ayat dan sabda Nabi di sini harus dipahami sebagai yang saling menjelaskan.
Dua contoh tentang kontradiksi antar ayat atau antara ayat dan hadis ahad,
yang disikapi al-Syafi’i dengan tetap mempertahankan hadis, yakni dengan
menempatkannya pada posisi penjelas, menunjukkan konsistensi pembelaan
al-Syafi’i terhadap hadis. Terutama hadis ahad. Sekalipun secara literal
bertentangan dengan ayat al-Quran yang tentunya dianggap memiliki posisi lebih
kuat. Bahkan al-Syafi’i mengecam orang yang mengambil sikap lain, yakni dengan
membuang hadis ahad dan percaya pada pengertian literal ayat. “Bahwa ucapan
orang yang mengatakan al-Sunnah harus dikonfrontasikan dengan al-Quran, jika
sesuai maka diterima, namun jika tidak kita gunakan pengertian literal
al-Quran, dan kita tinggalkan hadis adalah sikap bodoh atas apa yang telah kami
jelaskan.”[31]
Pembelaan ini menegaskan kembali posisi ideologis al-Syafi’i sebagai
pembela sunnah. Yang menempatkan lawan polemiknya yang menolak menggunakan
hadis karena bertentangan dengan al-Quran ke dalam inkar al-Sunnah. Konsistensi
semacam ini dapat kita jumpai dalam halaman berikutnya dari bukunya yang
berjudul Ikhtilaf.
Kontradiksi antar Hadis [Ahad]; Beberapa Tawaran
Penyelesaian
Seperti al-Quran, terkadang Nabi menggunakan redaksi general dengan
pengertian general, namun tidak sedikit yang memakai ungkapan general dengan maksud
yang spesifik. Hadis tidak boleh dialihkan dari pengertian literal dan
generalnya sebelum didapatkan informasi yang bersumber dari Nabi yang
mengarahkan ke sana. Jika terdapat pertentangan maka sikap yang diambil adalah
tidak membuang salah satu hadis, dan selama memungkinkan hendaknya diupayakan
pengamalan keduanya
[al-Jam’u bi I’malihima]. Al-Syafi’i
menegaskan, “Selama dua hadis [yang bertentangan] masih memungkinkan
difungsikan, maka hendaknya hal itu dilakukan. Tanpa menelantarkan salah
satunya sebagaimana dalam kajian terhadap ayat al-Quran sebelumnya.”[32]
Prinsip semacam
inilah yang pada akhirnya disebut dengan teori Jam’ [diambil dari
kata jama’a yang berarti mengumpulkan]. Yakni mengumpulkan dua dalil
dengan cara mengamalkan keduanya tanpa membuang salah satunya. Selain digunakan
untuk menyelesaikan kontradiksi yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran, prinsip
ini juga dipakai dalam mendekati kontradiksi dalam hadis. Seperti dalam kasus
perang terhadap kaum musyrik, apakah seluruhnya diberi pilihan Islam-bunuh?
Atau ada pilihan lain, seperti Islam-bunuh-jizyah. Ketika sebagian ayat
memberikan pilihan Islam-bunuh, ayat lain menawarkan Islam-Jizyah. Kedua bentuk
pilihan tidak harus saling menggugurkan. Karena konteks penerapannya berbeda.
Di mana Islam-bunuh ditujukan kepada musyrikin penyembah berhala, sedangkan
Islam-Jizyah diperuntukkan musyrikin ahli kitab. Sikap semacam ini meniscayakan
pemberlakuan dua ayat yang saling bertentangan tersebut.
Pendekatan kedua
yang dipakai al-Syafi’I adalah nasakh [pengubahan,
penggantian]. Al-Syafi’I mengartikan nasakh dengan penurunan perintah
yang bertentangan dengan perintah yang telah diturunkan sebelumnya. Hal ini
dapat dipahami dari penjelasan al-Syafi’I tentang dalil yang me-nasakh [nasikh],
“Perintah yang diturunkan dan bertentangan dengan perintah lain yang turun
sebelumnya.”[33]
Al-Syafi’I
mensyaratkan keseimbangan [kekuatan] antara dalil yang menasakh dan yang
dinasakh. Syarat ini meniscayakan ketidakbolehan penasakhan al-Quran
menggunakan hadis. Hadis memiliki beragam tingkat kekuatan. Sebagian berstatus
mutawatir yang setara dengan al-Quran, namun sangat sedikit, dan sebagian lagi
berstatus ahad. Yang terakhir inilah yang banyak. Sekalipun mutawatir, bagi
al-Syafi’I hadis hanya menempati posisi kedua di bawah al-Quran. Hadis hanya
berhak menjelaskan, tidak menghapus atau mengganti hukum yang telah ditetapkan
al-Quran.
Berangkat dari
syarat ini pula, suatu hadis dapat me-nasakh hadis yang lain. Yakni jika
tidak dimungkinkan rekonsiliasi melalui pendekatan jam’u. Nasakh
dapat dilakukan jika terdapat teks [dalil] mendukung. Dalil dapat berupa
informasi dari Nabi, sahabat yang menyaksikan kejadian, rawi, atau informasi
apapun yang dapat menunjukkan terjadinya nasakh.[34]
Berikutnya,
al-Syafi’I menawarkan konsep ikhtilâf
min jihat mubah sebagai salah satu perspektif untuk
menyelesaikan hadis-hadis kontradiktif. Prinsip ini ingin mengatakan bahwa
perbedaan antara dua hadis bukan perbedaan yang saling menegasikan.
Masing-masing hadis ketika diamalkan, tidak berakibat pada penegasian fungsi hadis
yang lain. Umat Islam diperbolehkan memilih salah satunya.
Al-Syafi’I juga
mengenalkan metode penyelesaian lain, yakni melalui prinsip persesuaian [munasabah]
dengan dalil lain. Yakni persesuaian dengan al-Quran, tradisi Nabi [sunan
al-Nabi], atau persesuaian dengan Qias. Dua hadis yang saling bertentangan
ditimbang sisi persesuaiannya dengan sumber-sumber di atas. Dengan adanya persesuaian
itu, salah satu hadis menjadi lebih kuat untuk diterima. Karena memiliki
penguat [‘adhid].
Hadis-hadis yang
bertentangan terkadang salah satunya berbentuk mujmal sedang yang
lain mufassar. Jika demikian, pada dasarnya hal ini bukan sebuah
kontradiksi, tapi lebih menunjukkan cara beretorika orang Arab yang orientasi
pembicaraannya khusus namun menggunakan redaksi umum. Jika demikian, maka kedua
hadis harus diamalkan melalui metode jam’u.
Terakhir, al-Syafi’I
menawarkan teori tarjih al-Riwayah. Jika salah satu hadis
diriwayatkan melalui jalur yang kuat, sedang yang lain tidak, maka hadis yang
kuat itulah yang diamalkan. Pendekatan terakhir meniscayakan penilaian hadis
dari sisi sanadnya. Di sini kritik sanad bekerja untuk menentukan apakah sebuah
hadis tsabit [diakui validitasnya] atau tidak. Hadis yang diriwayatkan
melalui sanad yang majhul dianggap tidak tsabit. Demikian
seterusnya.
Contoh Hadis
Kontradiktif
Batas Mengangkat
Tangan dalam Shalat
اختلاف الحديث - (ج 1 / ص 523)
حدثنا الربيع قال أخبرنا الشافعي قال أخبرنا سفيان بن عيينة
عن الزهري عن سالم بن عبد الله بن عمر عن أبيه قال رأيت النبي إذا افتتح الصلاة رفع
يديه حتى يحاذي منكبيه وإذا أراد أن يركع وبعد ما يرفع رأسه من الركوع ولا يرفع
بين السجدتين.
أخبرنا سفيان عن عاصم بن كليب قال سمعت أبي يقول حدثني وائل
بن حجر قال رأيت رسول الله إذا افتتح الصلاة يرفع يديه حذو منكبيه وإذا ركع وبعد ما
يرفع رأسه قال وائل ثم أتيتهم في الشتاء فرأيتهم يرفعون أيديهم في البرانس قال الشافعي: وروى هذا الحديث أبو حميد الساعدي
في عشرة من أصحاب رسول الله فصدقوه معا.
قال الشافعي رحمه الله
: وبهذا نقول فنقول إذا افتتح الصلاة رفع يديه حتى يحاذي بهما
منكبيه وإذا أراد أن يركع رفعهما وكذلك أيضا إذا رفع رأسه من الركوع ولا يرفع يديه
في شيء من الصلاة غير هذه المواضع.
قال الشافعي رحمه الله:
وبهذه الأحاديث
تركنا ما خالفها من الأحاديث قال الشافعي لأنها أثبت إسنادا
منه وأنها عدد والعدد أولى بالحفظ من الواحد فإن قيل فإنا نراه رأى المصلي يرخي يديه
فلعله أراد رفعهما فلو كان رفعهما مدا احتمل مدا حتى المنكبين واحتمل ما يجاوزه ويجاوز
الرأس ورفعهما ولا يجاوز المنكبين وهذا حذو حتى يحاذي منكبيه وحديثنا عن الزهري أثبت
إسنادا ومعه عدد يوافقونه ويحددونه تحديدا لا يشبه الغلط والله أعلم فإن قيل أفيجوز
أن يجاوز المنكبين قيل لا ينقص الصلاة ولا يوجب سهوا والاختيار أن لا يجاوز المنكبين.
Hukum Perempuan
Pergi ke Masjid
اختلاف
الحديث - (ص 513(
حدثنا
الربيع قال
قال
الشافعي
أخبرنا
بعض أهل العلم عن محمد بن عمرو بن علقمة عن أبي سلمة عن أبي هريرة أن النبي قال لا
تمنعوا إماء الله مساجد الله وإذا خرجن فليخرجن تفلات قال الربيع يعني لا يتطيبن
أخبرنا
سفيان عن الزهري عن سالم عن أبيه أن رسول الله قال إذا استأذنت امرأة أحدكم إلى
المسجد فلا يمنعها
قال
الشافعي
وهذا
حديث كلمنا فيه جماعة من الناس بكلام قد جهدت على تقصي ما كلموني فيه فكان مما قالوا
أو بعضهم ظاهر قول رسول الله النهي عن منع إماء الله مساجد الله والنهي عندك عن النبي
تحريم إلا بدلالة عن رسول الله أنه أراد به غير التحريم وهو عام على مساجد الله والعام
عندك على عمومه إلا بدلالة عن النبي أو عن جماعة لا يمكن فيهم جهل ما جاء عن النبي
أنه خاص فما تقول في هذا الحديث أهو عام فيكون تحريم أن يمنع أحد إماء الله مساجد الله
بحال أو خاص فيكون لهم منعهن بعض المساجد دون بعض فإنه لا يحتمل إلا واحدا من معنيين
قلت بل خاص عندي والله أعلم قال ما دل على أنه خاص عندك قلت الأخبار الثابتة عن النبي
بما لا أعلم فيه مخالفا قال فاذكر ما جاء عن النبي من الدليل على ما وصفت قلت أخبرنا
مالك عن سعيد بن أبي سعيد عن أبي هريرة عن رسول الله أنه قال لا يحل لامرأة تؤمن
بالله واليوم الآخر تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم حدثنا الربيع أخبرنا
الشافعي قال أخبرنا بن عيينة عن عمرو دينار عن أبي معبد عن بن عباس قال سمعت رسول الله
يخطب يقول لا يخلون رجل بامرأة ولا يحل لامرأة أن تسافر إلا ومعها ذو محرم فقام
رجل فقال يا رسول الله إني اكتتبت في غزوة كذا وكذا وإن امرأتي انطلقت حاجة قال فانطلق
فاحجج بامرأتك.
Kontekstualisasi
Untuk
tujuan kontekstualisasi, penulis akan mengangkat hadis tentang keluarnya
perempuan di atas. Penulis tidak akan memasuki perdebatan yang terkait tema
ini. Baik perdebatan di kalangan ulama fikih maupun antara para fukaha dan
aktifis perempuan yang muncul akhir-akhir ini. Penulis hanya akan menyuguhkan
inti gagasan yang ingin disampaikan oleh dua hadis yang kontradiktif di atas.
Hadis pertama sekalipun ingin memberikan kebebasan kepada hamba perempuan Allah
untuk menjalankan kebaikan, namun perlu digaris bawahi tentang cara
pelaksanaannya. Redaksi wa idza kharajna fal yakhrujna tafulât [ketika
mereka keluar, hendaknya mereka keluar dengan tanpa berhias yang berlebihan]. Tafulat
dalam hadis di atas ditafsirkan oleh al-Rabi’ murid al-Syafi’I dengan la
yatathayyabna [tidak memakai wewangian]. Wewangian di sini dapat
dipahami sebagai wewangian yang berlebihan. Bukan sama sekali tidak memakai
wewangian. Pemahaman semacam ini juga dapat dikembangkan pada setiap cara
berhias yang berlebihan sehingga ‘mengganggu’ kenyamanan bersama.
Hadis kedua melarang perempuan keluar rumah dengan jarak
lebih dari sehari-semalam. Ketika seorang perempuan keluar pada jarak tersebut
maka wajib bersama mahram. Fungsi mahram adalah untuk menjaga keamanan sang
perempuan. Sekalipun demikian, para ulama kebanyakan memahami secara literal. Sehingga
tidak ditemukan pendapat yang membolehkan perempuan keluar tanpa mahram,
sekalipun kondisi aman. Namun, jika dipahami secara rasional [ta’aqquli],
maka mahram dapat menjadi subjek analogi [maqîs ‘alaih] bagi institusi
lain yang memiliki fungsi yang sama; yakni menjaga keamanan.
Kedua hadis ini dapat dijadikan pedoman bagi para
perempuan yang sedang menjalankan tugas belajar, seperti kuliah. Di mana mereka
hendaknya tidak berlebihan dalam berdandan, dan selalu menjaga diri dengan
segala cara.
Simpulan
Dalam
kajian kita terlihat sejarah perkembangan Mukhtalif al-Hadîts terkait dengan
konflik ideologis antara kelompok-kelompok keilmuan dalam lingkungan kaum
muslimin. Tepatnya antara aliran yang sering disebut rasional, baik dalam
konteks fikih maupun kalam, dengan ahli hadis, dan secara khusus sebagai sebuah
perlawanan terhadap gerakan kalam ini. Dan pada masa akhir, justru menjadi
medan polemik bagi sesama ahli hadis.
Secara
khusus, al-Syafi’I mengambil medan fikih sebagai wahana pencanangan gagasan
teoretisnya pada al-Sunnah. Hal ini di antaranya dapat diamati dalam karyanya
yang berjudul Ikhtilâf al-Hadîts.
Dari sekitar sembilan puluhan bab, semua bertemakan fikih. Dalam menyikapi
kontradiksi hadis-hadis hukum, al-Syafi’I menggunakan beberapa metode
penyelesaian. Pendekatan retorik kebahasaan, baik dalam kerangka dalâlah
‘âm-khâh [general-spesifik],
atau mujmal-mufassar, nasakh [abrogasi], ikhtilâf
min jihat al-mubâh [perbedaan dalam kerangka kebolehan], al-munâsabah
[prinsip persesuaian], dan tarjîh al-Riwâyah [kritik sanad].
Wa Allahu A’lam.
Endnote
[1]
Makalah ini
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Matan Hadis, kelas TH-B. Dipresentasikan
pada 20 November 2011.
[2] Lihat lebih lengkap dalam analisis Mohamed
Abed al-Jabiri, Binyat al-‘Aql al-‘Arabi Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah
Linuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, (Beirut: Markaz Dirasat
al-Wahdah al-Arabiyyah), hlm. 24 dan bandingkan dengan Muhammad ibn Idris
al-Syafi’I, al-Risâlah, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2009, cet.
Ke-2), hlm. 71, jika al-Syafi’I menggunakan istilah Bayan dalam al-Risâlah-nya,
maka dalam Ikhtilâf al-Hadîts,
beliau menggunakan al-Dilâlah [penunjukan]. Penulis mengangap kedua
terminologi tersebut memiliki pengertian yang sama.
[3] Penulis menggunakan pemetaan yang membedakan
sunnah dari hadis. Di mana sunnah memiliki cakupan pengertian lebih umum, baik
yang memiliki dimensi teologis [wahyu, ilahiyah] yang wajib diikuti,
atau dimensi kemanusiaan Nabi yang profan [basyariyyah]. Suatu riwayat
dianggap sunnah jika mengandung pengajaran agama atau sering disebut tasyri’i.
jika tidak, maka suatu riwayat tentang kehidupan Nabi tidak dapat disebut
sunnah. Berbeda dengan ulama ahli hadis [muhadditsin] yang tidak membedakan
antara yang tasyri’I dan non-tasyri’I, antara ucapan, tindakan,
pengakuan, perilaku, sifat fisik, dan lainnya, selama suatu riwayat berhubungan
dengan Nabi, baik sebelum atau setelah menjadi Nabi, ia dapat disebut Sunnah. Pandangan
teoretis ahli hadis ini nampaknya muncul akibat konstruksi al-Syafi’I yang
menempatkan hadis sebagai salah satu sumber kebenaran dalam Islam melalui Ushul
Fikihnya. Hal ini nampaknya dilanjutkan oleh kelompok Muhadditsin dengan
mengeneralisir seluruh bentuk riwayat dari Nabi. Sebagaimana diketahui,
kelompok yang dikenal secara khusus dengan sebutan Muhaddits muncul belakangan,
ketika bidang kajian ilmu-ilmu keislaman mengalami ‘spesialisasi’ atau
‘spesifikasi’, hingga memunculkan kelompok-kelompok ilmiah seperti muhaddits,
fukaha, nuhat, ushuli, shufi, dan lainnya.
Pemetaan semacam ini menarik bagi penulis karena dapat menjelaskan
keberadaan “Tradisi Nabi” melalui kerangka historisnya. Namun, pada pembahasan
selanjutnya, penulis akan menggunakan terma Hadis, karena yang akan dibahas
dalam paper ini adalah “Tradisi Nabi” yang dipercayai dan diamalkan, yang baik
menurut pakar Hadis maupun Ushul Fikih, sepakat menyebutnya Hadis. Untuk
pemetaan, perkembangan, sekaligus sejarahnya lihat Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadîts Ulumuhu Wa Mushthalahuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989), hlm. 18-28,
dan Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1983).
[4] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Kairo: Darul
Hadits, 2003), jilid 3, hlm. 184-185
[5] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadîts
Ulumuhu Wa Mushthalahuhu, (Beirut; Darul Fikr, 1983), hlm. 19
[6] Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum
al-Hadîts, (Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1977), hlm. 122
[7] Dalam Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi,
(Kairo: Darul Hadits, 2004), hlm. 467
[8] Dalam Mahfud al-Turmusi, Manhaj Dzawi al-Nazhar Syarah Manzhumat ‘ilmi
al-Atsar, (Surabaya: Haramain, tt), hlm. 208
[9] Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadîts, (Surabaya: Haramain,
tt), hlm. 56
[10] Muhammad Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadîts‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut:
Darul Fikr, 1989), hlm. 283
[11] Muhammad Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadîts..., hlm. 283 dan Nafiz Husain Hammad, Mukhtalaf al-Hadîts
Baina al-Fuqaha Wa al-Muahadditsin, (al-Manshurah: Darul Wafa, 1993) hlm.
15-19
[12] Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, jilid 5,
hlm. 169
[13] Hal ini terkait dengan problematik [isykaliah]
yang dihadapi Ibnu Qutaibah yang ingin mengembalikan kewibawaan penggelut
Hadis, yang begitu disudutkan oleh kelompok yang menyebut dirinya rasional.
Bahwa ahli hadis merupakan kelompok intelektual yang bekerja sesuai dengan
tradisinya sendiri. Yakni mendasarkan diri riwayat [teks] serta piranti
pembacaan teks yang dikenal dan diterima di lingkungan ini.
[14] Nafiz Husain Hammad, Mukhtalaf al-Hadîts
Baina al-Fuqaha Wa al-Muahadditsin, (al-Manshurah: Darul Wafa, 1993) hlm.
17-18
[15] Ahmad Bin Muhammad al-Dimyathi, Hasyiyah al-Dimyathi ‘Ala Syarhi
al-Waraqat, (Semarang: Maktabah al-Alawiyah, tt), hlm. 16
[16] Mohamed Abed al-Jabiri, Nahnu Wa al-Turats Qiraat Mu’ashirah Fi
Turatsina al-Falsafi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993, cet.
Ke-6), hlm. 24
[17] Abu
Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadîts Wa
al-Radd ‘Ala Man Yuribu Fi al-Akhbar al-Mudda’a ‘Alaiha al-Tanaqudl,
(Kairo: Dar Ibnu Affan, 2009), hlm 76-77
[18] Redaksi aslinya,
[ثمَّ صنَّف فيه ابن قُتيبة, فأتَى فيه بأشياء
حسنة, وأشياء غير حسنة] قَصُرَ فيها باعهُ [لِكَون غيرها أوْلَى وأقْوَى] منها
[وتركَ مُعظم المُختلف]
Lihat dalam Jalaluddin
al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarhi Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Darul
Hadis, 2004), hlm. 467
[19] Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Thahawi, Syarh Musykil
al-Atsar, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994, cet. Ke-1), hlm. 6
[20] Menurut KBBI, ‘antropomorfisme’ diartikan dengan pengenaan ciri-ciri
manusia pada hewan, tumbuhan, atau benda-benda mati. Ini tentu saja tidak tepat
digunakan untuk menyamakan Tuhan dengan manusia. Dengan cara memberikan
ciri-ciri manusia kepada Tuhan. Karena Tuhan bukan hewan, tumbuhan, atau benda
mati. Namun, jika yang dimaksudkan adalah pengenaan ciri-ciri manusia pada
selainnya, penggunaan di sini dapat dibenarkan.
[21] Muhammad bin Idris al-Syafi’I, Ikhtilâf
al-Hadîts, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1986, cet.
Ke-1), hlm. 12
[22]
al-Syafi’I, Ikhtilaf.., hlm. 13
[23] al-Syafi’I, Ikhtilaf.., hlm. 12
[24] Lihat perdebatan batas minimal mutawatir
dalam Tajuddin bin Abdul Wahhab al-Subki, Jam’u al-Jawami’, (Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyah, 2005, cet. Ke-2), juz 2, hlm. hlm. 182
[25] al-Syafi’I, Ikhtilaf.., hlm. 13
[26] al-Subki, Jam’ al-Jawami, juz 2, hlm.
202-207
[27] al-Syafi’I, Ikhtilaf..., hlm. 20
[28] al-Syafi’I, Ikhtilaf…, hlm. 23
[29] Jika kita
mengacu pada definisi Mahmud al-Thahhan, demikian pula definisi-definisi yang
dibawakan ulama sebelumnya, kajian tentang pertentangan antara hadis dan
al-Quran tidak masuk dalam Mukhtalif al-Hadits. Karena Mukhtalif
al-Hadits meniscayakan pertentangan terjadi antara dua hadis. Bukan antara
hadis dan al-Quran. Ini berangkat dari pemisahan hadis dari al-Quran, sekalipun
keduanya diyakini sebagai wahyu Tuhan yang berbeda status.
[30]
al-Syafi’I, Ikhtilaf…, hlm. 31 kaidah ini berbeda dengan kaidah yang hampir
mirip, al-‘Am al-Makhshush [redaksi umum yang telah mengalami pengkhususan [oleh]
dalil lain]. Di mana antara dalil ‘am dan khash merupakan dua hal yang berbeda
dan awalnya berdiri sendiri. Berbeda dengan al-Am alladzi yuradu bihi
al-Khushush, di mana penunjukan memang dimaksudkan pada makna yang lebih
sempit. Yakni seperti yang disebutkan dalam dalil khash.
[31]
al-Syafi’I, Ikhtilaf…, hlm. 33
[32]
al-Syafi’I, Ikhtilaf…, hlm. 39
[33]
al-Syafi’I, Ikhtilaf…, hlm. 31
[34]
al-Syafi’I, Ikhtilaf…, hlm. 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar